Frangipani Flower Lovely Little Garden: Fiksiku: Tumbal
There is a lovely little garden in a corner of my heart, where happy dreams are gathered to nevermore depart

Sabtu, 08 Desember 2012

Fiksiku: Tumbal




"Nggak mau ah...! Saya ngga mau ikut-ikutan begitu."
"Tapi itu kan sudah umum, mbak Sinta. Semua orang disini juga melakukan itu."
"Saya ngga mau. Saya takut sama Allah."
"Ya sudah, terserah. Tadi kan mbak Sinta cerita kalau keadaan sekarang beda dengan dulu. Saya cuma kasih jalan keluar saja. Kalau pendapat saya sih selama kita tidak menjahati orang lain, ya ngga apa-apa."
"Memangnya bu Mus juga pakai ya...?"
"Iya dong... ngga kuat saya kalau enggak. Yang lain pada sadis-sadis sih mbak... Saya pakai buat tolak bala aja, sekalian buat penglaris!"

Aku tersenyum miris mendengarnya. Dan obrolan aku sudahi dengan beralasan hendak beres-beres. Segera bangkit meninggalkan bu Mus yang sepertinya masih antusias ingin bercerita tentang usahanya itu. Percuma juga aku jelaskan alasan-alasan mengapa hal itu tidak boleh dilakukan. Kutetapkan dalam hati bahwa aku tidak akan meniru perbuatannya apapun yang terjadi. Dalam hati aku memanjatkan doa agar dijauhkan dari segala perbuatan syirik itu.

Pagi masih terasa dingin. Mentari masih menunggu tugasnya untuk menggantikan bulan. Kubuka pintu warungku agar udara segar masuk ke dalam warung. Di seberang jalan tampak bu Mus sedang melakukan sesuatu di depan warungnya. Ditebarnya beras ketan putih di depan warungnya, kemudian aku lihat bu Mus berjalan mondar mandir beberapa putaran sambil mulutnya komat kamit melafalkan sesuatu. Setelah itu barulah dia menyapu beras ketan yang ditebarnya itu dan dikumpulkan di salah satu pojok luar warungnya.

Bu Mus terlalu asyik dengan yang dikerjakannya sehingga tak melihat bahwa aku memperhatikannya. Aku terdiam  menyaksikan ritual yang mengotori pagi itu. Rupanya itulah yang dimaksudnya kemaren. Pulang kampung untuk mencari "obat" buat warungnya yang belakangan sepi.
"Saya habis pulang kampung mbak, cari obat buat warung. Belakangan sepi banget. Kayaknya obat yang dulu udah nggak manjur," tanpa malu-malu bu Mus mengakuinya.

Aku lanjutkan pekerjaanku dan aku mencoba melupakan apa yang aku saksikan pagi itu. Urusan sendiri sendirilah. Yang penting aku tetap yakin pada pendirianku. Apa yang bu Mus sarankan padaku bukanlah yang pertama aku dengar. Banyak masukan yang menganggap wajar mencari tameng, tolak bala, penglaris, obat, dan entah apa lagi namanya. Kok ngga pada takut sama Allah ya...?

*
Hari minggu warung tutup. Waktunya bersama keluarga seharian. Pagi itu aku sedang menyiapkan sarapan untuk keluargaku. Tiba-tiba terdengar suara Hendro, pegawai warungku berteriak memanggilku.
"Ibu... cepat kesini bu... ! Lihat ke depan sini!" ada nada panik pada intonasinya.

Segera aku mendatangi Hendro yang berada di depan warung. Dan sesaat berikutnya aku terhenyak menyaksikan apa yang ada di depan pintu dan halaman warung. Astaghfirullah... banyak sekali berserakan serpihan lembut batu bata merah, garam dan helaian-helaian ijuk hitam. Ulah siapa ini...? Apa maksudnya...?

"Ambil sapu, Ndro. Bersihkan dan buang saja."
"Tapi.. apa tidak sebaiknya dido'akan dulu bu...? Jangan langsung buang. Nanti ada apa-apa gimana..?" Hendro tampak gusar sekali.
"Nggak... Langsung buang saja. Insya Allah tidak terjadi apa-apa. Kita tidak usah percaya bahwa ini semua akan mempengaruhi usaha kita. Yakin dan percaya kalau rejeki itu dari Allah, bukan dari pelaku perbuatan ini."
"Duuh.. kok ada sih yang iseng begini sama kita bu."
"Ndro, ini cobaan keimanan. Apakah kita goyah dan ikut-ikutan perbuatan mereka. Kita cari rejeki yang halal dan kekal nilainya. Yang bisa bawa keberkahan buat hidup kita."

*
Bu Mus mendatangiku saat aku sedang memotong-motong sayuran. Matanya sembab. Sepertinya habis menangis lama. Duduk tepat di depanku tanpa suara. Wajahnya sedih sekali.
"Ada apa bu Mus...? Kok kayaknya kusut banget."
"Iya nih mbak Sinta. Saya lagi sedih mikirin anak saya."
"Kenapa anaknya?"
"Sudah seminggu ini mendadak lumpuh, ngga bisa berdiri. Kakinya kayak ngga ada tulangnya. Makin lama makin parah saja"
"Lho... kok bisa begitu? Sakit apa dia?"
"Mbak Sinta... ini salah saya. Sepertinya ini hukuman buat saya."
"Maksud ibu Mus apa?"
"Penglaris yang waktu itu, kan ada syaratnya mbak. Saya harus menerima kalau sewaktu-waktu saya akan kehilangan apa yang menjadi kesayangan saya."
"Astaghfirullah ibu... Kok ibu menyanggupi syarat seperti itu?"
"Saya tidak berpikir bahwa itu juga termasuk anak saya."
"Anak ibu sudah  dibawa ke dokter? Barangkali memang ada penyakit apa gitu."
"Nggak ah mbak... saya mau cari orang yang lebih pinter lagi aja buat nandingin yang kemaren. Yang kemaren kebanyakan syaratnya. Saya udah dapat alamatnya mbak. Tinggalnya di sebelah kampung saya. Saya besok mau ke sana."

Sekali lagi kutinggalkan bu Mus saat dia masih semangat bercerita tentang rencananya itu. Dapur sudah menungguku dengan setumpuk pekerjaan.

***



81 komentar:

  1. Hallo bunda Lahfy, bagus fiksinya. Ini beneran ya bunda?. :). Bunda ijin blogroll ya? Terima kasih :).

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo juga Nilam...
      Mengangkat realitas yang terjadi di lingkungan bunda.

      Wah silahkan di blogroll. Asyiiik...

      Hapus
  2. Hingga saat ini masih banyak orang yang mencari sesuatu untuk mendapatkan keuntungan.

    No free lunch. Jangan berkolaborasi dengan jin atau setan karena mereka pasti minta sesuatu bagi siapa saja yang meminta sesuatu darinya.

    Semoga tak lama lagi ada sinetron dengan kredit titel : " Sinetron ini diangkat dari cerpen Tumbal karya Niken Kusmowardhani "

    Salam sayang selalu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Begitulah kenyataannya pakde... di kanan kiri saya banyak sekali yang melakukan ini.

      Sinetronnya sepertinya sudah menemukan bintang utamanya nihh.. wkwkwk...

      Hapus
  3. jaelah...
    masih percaya sama org pinterrr....

    fiksi pertama dah keren gini :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah dibilang keren...
      Trimakasih ya Jiah...

      Hapus
  4. Betul kata bunda, semua kembali pada Allah ...
    yang terpenting kita seperti mereka,cobaan keimanan untuk kita.
    Sukses untuk fiksinya ...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ralat komen bunda, boleh kan ?
      Betul kata bunda, semua kembali pada Allah ...
      yang terpenting kita tidak menjadi seperti mereka,ini cobaan keimanan untuk kita.
      Sukses untuk fiksinya ...

      Hapus
    2. Hehehe... yang pertama buru2 ya ngetiknya...

      Makasih mas Misbach... semoga iman tetap dikuatkan.

      Hapus
  5. nikmat bu.. tiba - tiba sudah mulai klimaks, dikahiri tanpa klimaks.. :)

    BalasHapus
  6. menarik :D
    ga ikut hajatan postcardfiction mbak? :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Trimakasih...
      Pengen ikutan mbak... pemanasan dulu... maklum blm biasa buat fiksi

      Hapus
  7. Endingnya diserahkan kepada pembaca apakah memilih sad atau happy ending. Ciamik

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah ada pengamat fiksi kemari...
      Kalau pakde... (ketauan juga khan...) mau sad atau happy...?

      Hapus
  8. bangunan cerita telah dibangun dengan baik, termasuk di antaranya dengan dialog yang memikat, duh... betapa ia terjerembab di sebuah lubang dan ingin mencari lubang yang lainnya untuk menjerembankan diri...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makin banyak lubang yang ingin dia gali ya pak... kali lain mungkin bahkan dirinya sendiri jadi tumbal.

      Hapus
  9. Membaca tulisan ini sempat bertanya-tanya siap bu Sinta itu, sampai akhirnya tersadar kalau ini sebuah fiksi perdana dari mbak Niken

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya ampuuun... pakai nama ini..
      Oke... saya anggap sanjungan saja deh... wkwkwkwk...

      Saya sedang belajar kok mas.... ada yang ngajari lho...

      Hapus
    2. berarti yang ngajari mbah guruku ya mbak

      Hapus
  10. Astagfirullah.... di tengah jaman yang semakin modern ini, ternyata masih ada hal-hal seperti itu ya Bun. Semoga kita semua terhindar dari perbuatan syirik dan terlindung darinya. Amiin

    BalasHapus
    Balasan
    1. Masih banyak mbak Mira... Ini sudah dianggap wajar. Miris ya mbak....

      Hapus
  11. Waduuh, hari gini masih percaya yang gituan ya, Bund.
    Semoga ini benar2 hanya ada di fiski. hihihi

    Salam untuk mbak nikeh, eh maksud saya mbak sinta. Dan untuk Bu Mus, segeralah bertaubat. :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ini fiksi tapi diangkat dari peristiwa yang ada disekitar bunda...

      Hapus
  12. mantabs jeng niken saking kepanjangan artikel males membacanya nih

    BalasHapus
  13. cara menyampaikan ceritanya apik

    yg bersih-bersih aja deh kita mah :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Trimakasih Kang Haris...
      Insya Allah yang bersih-bersih aja kita yang Kang... Biar berkah.

      Hapus
  14. ini katanya hasil belajar. hasil belajar aja sudah keren gini. gak sabaran nunggu yang selanjutnya... :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. lhooo... kalau ngga belajar ya nggak kayak gini thooo...

      Hapus
  15. wah... mantabs Bun, ceritanya bnr2 hidup, jd terbawa ama suasana alurnya yg seru...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah...
      semangat...semangat....
      Makasih mbak Mel...

      Hapus
  16. Hal seperti ini masih banyak di sekitar kita.. Naudzu billahi minzalik...

    BalasHapus
  17. belum sempat baca sekarang Bun, saya simpan sebagai word aja, ni lagi di warnet.. tar di baca dikamar aja...

    BalasHapus
    Balasan
    1. wahhhh... makasih Kiki nyempetin simpen di word segala...
      :)

      Hapus
  18. Narasinya mgk fiksi, tapi inti ceritanya merupakan cerminan realitas yg masih jamak terjadi di sekitar dan masyarakat kita ya Mbak

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mbak Rie... hal seperti itu masih amat kental mewarnai dunia bisnis di masyarakat.

      Hapus
  19. bagus banget bund fiksinya....*ada lanjutannya kan bund...hihihi
    penasaran endingnya sperti apa :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yaahhh... sayangnya ini bukan cerbung...
      endingnya diterusin sendiri ajaaah.. bebas kok... hehehe...

      Hapus
  20. percaya ndak percaya yaa bund kalau jaman sekarang masih ada ajah yang pake begitu2an yaa, padahal kan jelas2 barang siapa yang menyekutukan allah itu syirik namanya, naudubillamindalik :D

    Bunda niken cerpennya apik tenan :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dan syirik adalah dosa yang tidak dimaafkan oleh Allah. Kegidupan dunia terlalu menggoda sepertinya.

      Makasih Niar... kangen Niar niihh.. lama ga muncul.

      Hapus
  21. ceritanya bagus mbak ...
    memang masih banyak yang seperti itu ...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah kalau ceritanya bagus...
      Makasih yaaa...

      Hapus
  22. Lho, saya jg orang pintar lho, tp gak buka praktek :d
    Oiya, cepetan kedapur deh mba, blm nyarap neh ... Hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Orang pinter minum **lak *ngin.... hehehe....
      Yuk ah masak dulu...

      Hapus
  23. Ditanding ama saya ajalah Wakakkkaakk

    BalasHapus
  24. Wah..gak pd berarti yah pake obat segala tuh orang :)

    BalasHapus
  25. dulu sering baca soal pesugihan di majalah Liberty ternyata masih banyak yang pake ya :)

    BalasHapus
  26. hedeeehhh... tak bisa dipungkiri di masyarakat kita memang maish kental kepercayaan seperti ini ya Bun, harus menguatkan iman..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Malah kalau yang dikasih tau bilang ngga mau... katanya sok-sok'an...

      Hapus
  27. Si Belo

    Innalillahi, masih ada aja orang yang percaya begitu *geleng2 kepala* Keren ceritanya Bunda :) miss yuu

    BalasHapus
  28. fiksi tapi banyak kejadian didunia nyata ya mbak. termasuk kedalam musryik ya. Asstagfirullah

    BalasHapus
  29. Jika cerita di atas fiksi, tapi sejatinya masih banyak peristiwa nyata seperti mbak tulis di atas, terutama di sekitar lingkungan kita sendiri. salam:)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Cerita diatas adalah fiksi yang berdasarkan kisah nyata yang terjadi di sekitar tempat saya bekerja.
      Salam kembali.

      Hapus
  30. Dulu waktu masih tinggal di Medan, yang adalah kota besar, sekelilingku juga masih banyak banget melakukan dan menggunakan ritual-ritual seperti itu mba, bahkan pernah lihat langsung seorang teman yang tiba-tiba, di suatu pagi, mengalami kelumpuhan, ga bisa turun dari bednya. Anehnya, pihak keluarga bukannya membawanya ke dokter, tapi malah mengundang paranormal untuk mengobatinya.

    Dan realita seperti ini, masih begitu lekat tumbuh subur di sekeliling kita ya mba.... dan sulit banget menumpasnya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Justru persaingan hidup di kota besarlah sebagai salah satu pemicunya mbak Al... semakin banyaknya pesaing bisnis membuat mrk melakukan hal itu.
      Nyatanya bkn hanya untuk hal bisnis "paranormal" berperan dalam pemecahan masalah. Dimana hal itu hanya semakin membuat terpuruknya keimanan.

      Hapus
  31. heran yak bun, jaman sekarang masih ada aja yang percaya sama hal2 kek gitu. semoga qt terhindar dari kemusyrikan sekecil dan sesedrhanan apapun itu. aamiin

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mungkin kita tidak perlu heran mbak Rima... karena kesyirikan itu adalah bagaikan semut hitam, berjalan diatas batu hitan digelapnya malam.

      Hapus
  32. setuju a, mendingan ngurusin dapur yg berantakan drpd main tumbal2an :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha... biar kata warung tutup karena kurang pelanggan, tetap tdk akan tergoda memakai kayak begituan. Pasti Allah akan membukakan pintu rizkiNya

      Hapus
  33. Fiksinya nyata banget.. bagus, bun :)

    BalasHapus
  34. ikutan gabung, salam kenal sukses selalu :)

    BalasHapus
  35. Wah... trimakasih masukannya mas Ayas... saya suka kok dikritisi seperti itu.

    BalasHapus
  36. hari gini msh percaya gituan,,, t-e-r-l-a-l-u!!!!!
    salam bunda,,, suka ceritanya...

    BalasHapus
    Balasan
    1. memang terlalu ya... ini komen kesimpen lama di spam baru ketahuan... hehehe

      Hapus
  37. Astagfirullah..
    naudubilahimin dzalik..

    tp memang hal sprt itu ada di sekitar kita ya mb..

    salam kangeeennnn mb nikeennnn... *peluukkk :))

    BalasHapus
    Balasan
    1. Begitulah mbak Enny... masih banyak yang menggunakannya.

      Salam kangeeeeeen jugaaa... #peluk...

      Hapus