Frangipani Flower Lovely Little Garden: Fiksiku: Awan Putih
There is a lovely little garden in a corner of my heart, where happy dreams are gathered to nevermore depart

Rabu, 02 Januari 2013

Fiksiku: Awan Putih




Mudah sekali menghadirkanmu. Dalam pejaman mata saja aku bisa utuh membawamu kehadapanku. Seketika bisa kusaksikan senyummu yang mengembang. Tawamu yang tergelak. Suaramu yang meneduhkanku. Tak hanya itu... hatiku mulai memainkan rasa. Seakan kurasakan usapan lembut tanganmu pada helaian rambutku. Menyusupkan kedamaian yang kau hantarkan melalui telapak tanganmu. Kurasakan pancaran kasih sayang yang tulus darimu, ibuku.

Masih terpejam mataku, ketika kemudian aku dibawa pada masa kanak-kanak. Bagai mesin waktu yang berputar kembali pada masa lalu. Saat dirimu selalu menjaga dan mengurusku. Kepangan rambut yang kau jalin dihiasi pita, begitu rapihnya membuat aku merasa bagai gadis yang paling cantik di muka bumi. Pujianmu membuatku serasa melambung tinggi ke awan putih.
Awan putih...

Bukankah itu lagu yang selalu aku dendangkan bersamamu? Tiap menyanyikan lagu itu aku seperti ingin terbang keatas dan memegang awan itu. Gayaku selalu menggapai-gapaikan tangan ke atas kepalaku. Kakiku berjingkat-jingkat. Berharap tanganku dapat meraih awan yang paling dekat.

Kulihat awan seputih kapas
arak berarak dilangit luas
andai kudapat kesana terbang
akan kuraih kebawa pulang

Dan kau tergelak dengan manisnya. Sungguh bu.. Kau manis sekali ketika tertawa. Mengakhiri lagu itu dengan memelukku sambil berbisik,"Kelak... akan kau raih awan itu." Sebuah ciuman kau berikan lembut untukku. Aku pun merasa itulah sumber kekuatanku. Aku bagai mendapat siraman doa yang bergema pada tiap dinding rumah.

Jangan pergi ibu... Mataku masih terpejam. Aku masih ingin berada dekat denganmu. Aku ingin mengulang saat kau merayuku agar memijit kakimu yang letih karena mengayunkan mesin jahit. Tangan kecilku berusaha membuatmu nyaman. Entah apa yang kau rasakan, tapi kau selalu memuji pada tiap pijitan yang aku berikan. Aku sendiri tak yakin apakah pijitanku mampu menghilangkan letihmu. Aku suka sekali saat-saat itu ibu... Aku merasa bisa berguna untukmu. Membantumu untuk bisa membuat kakimu kembali merasa nyaman.

Aku tidak mengerti, mengapa ayah begitu sedih tiap membuatkan rebusan temulawak untukmu. Walau pahit, ibu bilang air temulawak itu enak. Kalau ayah membuat minuman enak yang disukai ibu, mengapa wajah ayah begitu muram. Makin hari makin jelas terlihat kesedihan itu. Dan kenapa ibu jadi tidak lagi mengayunkan mesin jahit? Sungguh aku tak mengerti.

Ibu.... sebetulnya dalam pejaman mataku ini, aku tidak ingin menghadirkanmu saat kau kepayahan berusaha mencapai kamar mandi untuk memuntahkan yang membuatmu mual. Tapi belum sampai pintu kamar mandi, cairan hitam sudah menyembur dari mulutmu. Aku berteriak dan kemudian menangis meraung meminta tolong tetangga sebelah, karena saat itu ayah sedang tidak di rumah. Aku bingung bu.. Aku takut sekali. Kau terlihat kepayahan berjalan terhuyung-huyung berpegangan tembok, bagai merayap menuju tempat tidur.

Kugelengkan kepala untuk mengenyahkan ingatanku akan hal yang membuatku amat panik itu. Tapi bayanganmu saat terbaring ditempat tidur dengan lemasnya, tak mampu aku usir. Ayah pulang dan tergopoh-gopoh berlari menuju kamar. Hendak membawamu ke rumah sakit tapi kau tolak. Aku dengar ayah memaksa untuk membawamu dan kau bersikukuh tidak mau. Akhirnya ayah mengalah dan kemudian menjerang air panas untuk diisi ke dalam botol sirup. Membungkusnya dengan handuk kecil lalu diletakkan pada perut ibu.

Aku hanya menyaksikan sambil mengusap-usap kaki ibu. Aku tak mau jauh dari ibu. Entah kenapa aku merasa akan berpisah dengan ibu. Tapi bagaimana dan kemana? Bukankah ibu sedang tak bisa kemana-mana? Malam itu aku tidur ditengah antara ayah dan ibu. Nyaman sekali rasanya. Aku hanya tahu perasaanku kala itu bahwa ayah ibu begitu menyayangi aku.

"Bangun bu.... bangun...!" suara ayah membangunkan tidurku.

Aku lihat ayah mengguncang-guncang badan ibu yang tak bergerak. Baru pertama kali aku lihat ayah menangis. Aku tak tahu kenapa sepagi itu ayah sudah menangis sambil membangunkan ibu. Hatiku tergerak untuk ikut mengguncang badan ibu.

"Ibu... bangun bu... Dipanggil ayah tuuh... Ibu bangun doong...!" suaraku bangun tidur masih terdengar serak.

Tapi ibu diam tak bergerak. Ayah segera memelukku erat. Erat sekali. Firasatku mengatakan bahwa ibu kenapa-napa. Aku membalas pelukan ayah. Tak kalah eratnya. Merasa kalau ayah membutuhkanku menenangkan perasaannya.

Ayah berbisik nyaris tak kudengar,"Innalillahi wa'innailaihi rojiuun... Ibu sudah pergi, anakku."

"Kemana ibu pergi ayah?" tanyaku lugu.

"Kembali ke sisi Allah, nak." Ayah mengusap air matanya. Segera kulihat kekuatan dari matanya. Memegang kedua bahuku. Menatap mataku tanpa berkedip. Buatku tatapan itu memancarkan kebijaksanaan dan ketegaran. Mempengaruhi hatiku yang semula sudah hendak meluapkan tangis, menjadi tenang kembali. Meskipun kesedihan dan kecemasan tak mampu aku halau. Membayangkan tak ada ibu mengisi hari-hariku. Tak ada lagi yang akan mengepang rambutku.

Mudah sekali menghadirkanmu ibu... Hanya dengan pejaman mata. Meski sampai dengan hari ini berarti sudah 12 tahun kau tak disisiku. 12 tahun yang panjang tanpa mendapat aliran kasih sayang dari telapak tanganmu. Tanpa melihat senyummu yang amat manis itu. Namun semua masih lekat. Amat lekat dalam ingatanku. Selekat kelopak mataku yang terpejam.

Sepanjang kurun waktu itu, rangkaian doa panjangku selalu terpanjat untukmu. Awalnya ayah selalu membimbingku merangkainya. Dan kini... harapanku meraih awan putih selalu beriringan dengan doaku untuk kebaikanmu agar mendapat tempat yang indah di sisi Allah.

Dan sekejap setelah doa usai kututur, kubuka mata, mengikhlaskanmu kembali meninggalkanku.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar