Frangipani Flower Lovely Little Garden: Menghadapi Ujian Nasional
There is a lovely little garden in a corner of my heart, where happy dreams are gathered to nevermore depart

Sabtu, 13 April 2013

Menghadapi Ujian Nasional

Bismillahirrahmannirrahiim,

Tak pernah aku sangka sebelumnya kalau komenku pada tulisan mas RZ. Hakim, Selamat Bercumbu Dengan Ujian Nasional, ternyata menimbulkan sebuah kesan posisitf buat beliau. Bahkan sebagian kalimat dari komen tersebut dicuplik untuk tulisan selanjutnya, Di Mata Ica, UAN adalah Monster. Tak hanya itu, bahkan kemudian menimbulkan sebuah diskusi dengan mas Aldy M. Aripin.

Ujian Nasional, di rumahku juga sedang hangat menjadi pembicaraan karena Astri, anak keduaku, juga sedang mempersiapkan diri menghadapinya. Memang benar effort Astri dalam mempersiapkan diri untuk menghadapi UN cukup melelahkan, terutama ketika memasuki semester 2 dari kelas IX. Begitu padat kegiatan belajarnya. Selain sekolah seperti biasa, pendalaman materi dari sekolah yang dilaksanakan diluar jam sekolah, juga bimbingan belajar. Belum lagi tugas-tugas dari guru bidang studi yang cukup menyita waktu dan pikirannya.




Apakah Astri tidak pernah setress? Tidak juga. Aku juga pernah menulis bagaimana setress yang dirasakan Astri membuat suasana rumah menjadi agak panas, baca Anak-anak Juga Bisa Stress. Astri juga bukan siswa yang mempunyai prestasi sehebat Devon putra mas Insan Robbani, atau seperti Keke dan Nai putra putri mbak Myra Anastasia yang selalu mendapat nilai bagus di sekolah. Prestasi akademik Astri ada ditengah-tengah, paling tinggi pernah masuk 10 besar di kelasnya.

Bukan bermaksud membandingkan Astri dengan anak orang lain, hanya sekedar membuat gambaran bahwa realita yang ada adalah demikian. Persaingan Astri untuk lulus dengan nilai yang baik, cukup tinggi. Kenyataan yang dihadapi Astri, bahwa dia harus berjuang kalau mau lulus dengan nilai dan baik, juga bisa masuk ke sekolah yang diinginkannya. Untuk itulah aku membantunya untuk membuat Afirmasi Target UN jauh-jauh hari.

Seperti kita ketahui, pelaksanaan UN tahun ini menggunakan sistem baru. Yaitu sistem barcode dengan 20 paket per ruangan. Dimana dalam 20 paket itu, tak ada soal yang persis sama, hanya type soalnya saja yang sama. Wow! Lembar soal dan lembar jawaban adalah kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, sudah pasangan, yang ditandai dengan barcode. Pada saat orang tua murid diundang pihak sekolah untuk mensosialisasikan metode barcode ini, kepala sekolah menjelaskan kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi, yang bisa merugikan siswa. Orang tua diharapkan bekerja sama mengingatkan anak-anaknya untuk:
Jangan lupa memeriksa lembar soal dan lembar jawaban sebelum mengerjakan. Teliti apakah paket yang mereka terima sudah utuh, lengkap, tidak cacat. Sebab kalau di tengah mengerjakan soal baru disadari ada yang kurang lalu minta ganti paket, otomatis akan mendapatkan paket baru yang berbeda dengan yang pertama, tanpa perpanjangan waktu. 
Berdebar rasanya hati mendengar semua penjelasan itu. Kekhawatiran tentu saja muncul. Kalimat-kalimat kecemasan yang berawal dengan "Bagaimana kalau..." bermunculan tiba-tiba. Tapi kepala sekolah membesarkan hati para orang tua dengan mengatakan anak-anak sudah diberikan simulasi sistem barcode ini.

Sekalipun sistem barcode dengan 20 paket ini membuatku khawatir, tapi di depan Astri tak kutunjukkan sama sekali. Biarlah dia mengerjakan bagiannya. Tetap berpikir positip pada ujian yang akan dihadapinya. Yang bisa aku lakukan adalah selalu menyelipkan nasehat untuk memeriksa paket yang dia terima sebelum mengerjakan soal, dan yang terpenting adalah membuat suasana hatinya nyaman saat di rumah. Lebih banyak canda, lebih banyak belaian, lebih banyak waktu berdua meskipun hanya beberapa saat dalam sehari, lebih banyak mendengar. Mensupportnya dengan lebih pada saat-saat terakhir ini.

Pada diskusi singkat dengan mas Aldy M. Aripin, terungkap keprihatinan mas Aldy terhadap masyarakat yang tinggal di daerah/pedalaman yang secara sosial ekonomi kekurangan. Jangankan terpikir untuk memberikan support kepada anak dalam menghadapi ujian, support ekonomi keluarga saja sulit. Mereka hampir sepenuhnya menyerahkan pendidikan kepada pihak sekolah, yang secara kompentensi gurunya juga belum memadai mengikuti arus perubahan sistem pendidikan.

Buat aku, bagaimanapun kondisi sosial ekonomi keluarga, tak ada alasan untuk tidak mensupport anak-anak dalam ujiannya. Seminim apapun support itu pasti bisa dilakukan. Bahkan apa yang terkadang dianggap sederhana, sebetulnya justru disitulah kekuatannya. Contohnya, apakah membangunkan anak sholat tahajud adalah hal yang hanya bisa dilakukan oleh masyarakat mampu? Seorang ibu punya tangan untuk membelai anaknya, punya senyum yang bisa diberikan untuk anaknya saat dia akan berangkat sekolah. Rasanya tak perlu latar belakang pendidikan tinggi untuk melakukannya.

Sistem pendidikan kita memang selalu mudah untuk kita soroti kekurangannya. Banyak sekali perubahan mendadak yang harus siap dihadapi anak-anak dalam waktu singkat. Membicarakan sistem pendidikan buat seorang ibu seperti diriku hanya akan membawa pikiran negatif ke dalam rumah. Aku belum mampu mendidik anak-anak sepenuhnya tanpa menyekolahkan mereka. Maka segala konsekwensi yang timbul harus dihadapi Yang bisa aku lakukan adalah membagi tugas sesuai porsinya.

Orang tua bisa saja tak memahami apa yang berlaku dalam sistem pendidikan dan menyerahkan pendidikan anak sepenuhnya kepada sekolah, tapi dia punya kewajiban untuk memperhatikan anak-anaknya dengan cara lain. Tak bisa selalu menyalahkan sistem, tak bisa selalu mengeluhkan situasi kondisi.

Aku orang yang lebih mementingkan proses. Selama anak-anak sudah terlihat berusaha maksimal yang mereka mampu, berapapun hasilnya akan aku terima. Kalau mau bantu ya sekarang, kalau mau gembleng ya dari kemaren, kalau mau menasehati ya lakukan saja, kalau mau support ya berikan sampai saatnya tiba. Bantu juga dengan memanjatkan doa. Orang tua mengerjakan bagiannya, dan anak mengerjakan bagiannya. Insya Allah Ujian Nasional bukan monster.

Satu hal yang perlu diingat, sekolah memang penting, tapi sekolah bukan segalanya. 


.

43 komentar:

  1. mbak niken, uan sekarang memang bikin deg-deg serr yah.. aku guru BK, sering mengadakan bimbingan belajar buat siswaku, yang rata-rata kemampuannya tidak di atas rata-rata.

    njelimet, itu yang aku rasakan di uan sekarang. dan juga, cara pemberian nilai dengan sistem KKM, membuat anak-anak jadi santai karena ada nilai katrol. ini yang membuat anak-anak menganggap uan jadi enteng.

    tapi setuju dengan pendapat mbak niken, bahwa sekolah bukan segalanya. yang penting adalah cara kita mempersiapkan mereka untuk beberapa tahun mendatang :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tugas guru jadi ekstra ya mbak Rochma. Memang perlu kerja sama antara pihak sekolah dan orang tua, supaya guru tak merasa semua beban ada dipundak mereka, dan orang tua juga merasa yakin bisa menitipkan anak-anaknya di sekolah.

      Mari kita semangati anak-anak ya mbak Rochma... :)

      Hapus
  2. aku pernah mnegalaminya mak, saat putriku tazkia menjalani UN SD tahun kemarin, masyaallah...luar biasa tegang. tapi tentu saja saya bersikap santai dan smua bisa dihadapi di hadapan putriku, spy ketegangannya tidak semakin bertambah buat tazkia.

    tetap suport dia, mendoakan, kalau perlu bantu anak kita yg sedang ujian di sklh dgn dhuha dan tahajud kita. alhamdulillah semua berjalan baik dan hasilnya juga baik :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Setuju sekali mbak Irma, kecemasan memang ada, tapi bagaimana menciptakan suasana rumah itu ada dalam tangan kita.

      Hapus
  3. Belajar dengan giat, berlatih mengerjakan soal, berdoa dengan penuh harap, dukungan dan doa orangtua Insya Allah akan membuahkan hasil yang gemilang.
    Selamat mengikuti UAN, Nak Astri. Semoga lulus dengan hasil yang memuaskan.
    Salam hangat dari Surabaya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin Ya Rabbal alamiin, matur nuwun pakde.
      Nanti disampaikan ke Astri nasehat dan doanya.

      Salam kembali dari Jakarta

      Hapus
  4. dik Astri.... kakak pernah bengong selama beberapa menit sebelum menjawab soal UN, saat itu kakak pikir, UN adalah musuh, hihi... tapi ternyata dia adalah ajang perjuangan. #kenangan masa sekolah... :))

    Dan masuk 10 besar itu sesuatu bukti klo Astri bisa jadi juara lho...

    Dan yang paling penting adalah, karena Astri punya seorang bunda yang sangat mengerti, mengutamakan proses, bukan hasil. #jd pengen punya bunda pengertian kyak gini... ufs! Astaghfirullah... bunda Liyan juga sangat baaaiiiik ko... ^^

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau menghadapi musuh lengkap dengan senjata dan tameng dong, kak Liyan :)

      Ayo sini kak Liyan jadi kakaknya Astri aja, mau...? #peluk Liyan :)

      Hapus
  5. Sejak awal UAN digelar saya berpikiran emang itu monster kok Bun.. Hanya mengejar standar IQ siswa saja, sedang EQ cenderung diabaikan.

    Eskul banyak yang dibeslah dengan alasan biar siswa fokus UAN, padahal di kegiatan eskul itulah nilai-nilai EQ dipelajari. Tapi sudahlah, rakyat yo nrimo wae wis apapun sistem pendidikan wong ndukuran. Semoga saja keinginan pemerintah untuk menaikkan grade nilai siswa diimbangi juga dengan memberikan lapangan kerja.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Begitulah sistem pendidikan kita mas Lozz. Itu makanya kita jangan pasrah 100% terhadap pendidikan di sekolah. Dalam Islampun dikatakan qu'anfusakum wa'ahlikum naro. Itu artinya kita sebagai orang tua bertanggung jawab terhadap EQ anak.

      Harapan akan perbaikan sistem pendidikan tentu saja ada, banget malah. Tapi selama masih banyak pihak yang berkepentingan belum 1 kata, rasanya tetap akan dirasakan kekurangannya. Nah, selama belum ditemukan perbaikan yang ideal, apakah kita akan terus menganggap monster?

      Kalau mau kita lihat ke tahun2 belakang, hasil UAN terbaik bukan dari kota2 besar seperti Jakarta, tapi justru dari daerah.

      Hapus
  6. Bunda, aku kok nangis ya? baca Astri sedang UAN? entah, kenangan lalu itu langsung muncul dan berkelebat maju ke masa akan datang. Masa ketika kelak Faiz sekolah. Setiap ada berita UAn, aku tiba-tiba merasa menjadi bagian itu kembali.

    Sukses UANnya ya Astri...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ternyata memang Astin Hidayat melow habis ya :D
      Cup, cup, jangan nangis dong. Semoga nanti jamannya Faiz sistem pendidikan sdh lebih nyaman buat anak didik$

      Makasih ya mbak Astin.

      Hapus
  7. jadi inget dulu waktu sy uan sma, waktu pengawas ujian bilang... "waktunya 5 menit lagi!" saya kaget dan baru sadar hampir setengah dari soalnya belum saya isi.... masyaAllah... tapi alhamdulillah, tanpa nyontek, Allah berikan kemudahan dan nilai yg melebihi batas kelulusan... :)

    semoga yg uan sekarang bisa lebih tenang, lebih deket sama Allah... karena kalo udah deket sama Allah, Allah bantu ko insyaAllah, pasti itu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin Ya Rabb.

      Kalau hasil diperoleh dengan jujur, tentu lbh puas ya. :)

      Hapus
  8. Ternyata UAN masih jadi momok menakutkan ya Bun. padahal seperti yang pernah kita semua alami, pada prakteknya saat UAN ketakutan itu tak hilang berganti keyakinan yang hadir dengan the power of kepepetnya :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. The power of kepepet hasilnya sering tdk terduga ya mbak Yuni :D

      Hapus
  9. Bahagianya kamu dek Astri, memiliki seorang Ibu yang berhati teduh, yang selalu menyediakan tangannya untuk membelaimu, dan menyediakan bahunya kapan saja untuk tempatmu bersandar.

    Mbak Niken, sampaikan salam saya buat adek Astri, selamat menjelang ujian. Saya doakan yang terbaik untuk dek Astri.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin. Makasih doa mas Hakim utk Astri. Insya Allah salam disampaikan.

      Bundanya juga beruntung dianugrahi Allah anak semanis Astri.

      Hapus
  10. Saat sosialisasi tentang barcode di Sekolah (ku), sebagaian orang tua pada gak tanggap lho, Bunda. : Pada bingung malah. . .

    Semoga Astri diberi kmudahan dalam mengerjakan soal UN nantinya ya? :)
    jangan lupa, belajar dan berdoa, Astri Cantik.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ga apa2 kalau yang bingung orang tua, asalkan anak muridnya ga bingung :D

      Hapus
  11. Iya, momok UN itu bener-bener terasa kaya monster waktu saya sekolah dulu. Waktu saya dulu masih 3 mata pelajaran yang di UN-kan. Saya mencak-mencak karna ngga pinter Matematika, "Kenapa kelulusan harus diukur dari 3 mata pelajaran itu aja?" Itu quote favorit saya waktu masa labil UN dulu. hehehe
    Minta doa sama semua-semua supaya lulus. Padahal kalau sudah dijalani ternyata tidak begitu menyeramkan lagi, gaungnya saja yang begitu menakutkan dan bikin panik..

    Semoga Astri diberi kemudahan ya :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah itu dia. Gaungnya yg membuat UN menjadi menakutkan dan bikin panik. Makanya diusahakan spy gaungnya yang sampai ke dinding rmh kita.
      Aamiin. Makasih ya :D

      Hapus
  12. Orang tua mengerjakan bagiannya, dan anak mengerjakan bagiannya. itu sudah langkah yang tepat.

    Sejujurnya UN bukan sesuatu yang menakutkan selama dipersiapkan sedini mungkin, biarkan semua berjalan apa adanya yang penting berusaha dan berdoa.

    semoga Astri sukses...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Berusaha dan berdoa. Itu udah pasangan yg pas banget.

      Makasih mas Insan.

      Hapus
  13. Semoga UNnya berjalan dengan lancar ya. Asri mau jadi dokter ya :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aaminn, makasih mbak Lidya.
      Itu foto di UKS, Astri ambil ekskul PMR.

      Hapus
  14. iya bener... proses memang harusnya lebih penting ya, diatas hasil UN / Unas...

    kasihan lihat anak anak jaman sekarang, yang stress gara gara sekolah

    BalasHapus
    Balasan
    1. Membantu menguatkan mental anak akan sebuah kegagalan, itu penting banget.

      Hapus
  15. semoga di lancarkan semuanya ya Bun..
    sukses menghadapi UN nya :D

    BalasHapus
  16. sepaham bgt, mbak. Kl ngobrolin ttg UN memang gak akan ada habisnya apalagi ttg kekurangannya. Bs habis mulut ini mengeluh.

    Tp sy selalu berpikir juga begitu, yg penting usaha dulu. Dan tugas kita sbg org tua yg harus bs meramu supaya persiapan tsb terlihat nyaman. Meminimalisir stress anak, lah

    Ttg ketertinggalan di bbrp daerah juga miris, ya. Tp sy juga berpikir, banyak contoh2 dimana ada aja org sukses dr latar blkg yg kurang mampu. Dan sy perhatiin kunci utamanya itu ada di org tua yang selalu memberi mereka semangat

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sekolah formal bukan satu2nya variabel kesuksesan. Bahkan bukan yang utama malah. Lebih baik memotivasi anak2 dengan tepat. Bahkan gagal di sekolah formal sekalipun, bukanlah sebuah kepastian bahwa dia tidak akan sukses dlm hidupnya.

      Hapus
  17. Wah wah.. ternyata saya kurang gaul tentang UAN kali ini. Ada 20 paket? Seru banget tuh, gak bisa contek2an :D
    Semoga UAN-nya Astri berjalan lancar dan bisa mendapatkan nilai yang maksimal ya...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin, makasih mbak Akin :)
      Kenyataannya masih banyak yang bisa nyontek tuh. Kok bisa ya?

      Hapus
  18. Semoga Astri bisa bersikap tenang dalam menghadapi soal-soal dalam UAN nya ya, Mba. Persiapan yang matang, biasanya akan memberikan sikap tenang karena adanya rasa percaya diri. Ketenangan, akan membuat pikiran jernih, dan Insyaallah lancar dalam menghadapi Ujian ini. Udah pernah mengalami saat Intan UAN SMP, terus terang, ikutan was-was sebelum dapat berita darinya. :)

    Untuk Astri, sukses ya nak, Insyaallah Astri akan bisa menghadapinya, yakin deh, berusaha dan berdoa, lalu biarkan Allah yang membantu melancarkannya. Bismillah yaaa. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dengan kekacauan yang terjadi pada UN SMA, nasehat untuk mempersiapkan mental menghadapi segala kemungkinan pada UN SMP harus lebih disampaikan. Semoga anak2 diberi kekuatan untuk menghadapi seuanya.

      Aamiin, makasih doa buat Astri. Sukses juga buat tante Alaika yang cantik :D

      Hapus
  19. salut sama mba..
    smoga astri sukses yah :)

    BalasHapus
  20. Anak ke-2ku juga sedang mengahadapi UN Mbak Niken. Karena sejak setahun lalu dia sudah ikut bimbel khusus dan dianya juga kerja keras selama setahun ini dengan nilai-nilai memuaskan, yah, akunya sekarang nyantai saja..:)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau anak-anak sudah mandiri dalam belajar memang kita bisa lebh santai ya mbak Evi. Astri juga ikut bimbel.

      Hapus