Frangipani Flower Lovely Little Garden: Dua Jagoan
There is a lovely little garden in a corner of my heart, where happy dreams are gathered to nevermore depart

Senin, 30 April 2012

Dua Jagoan


Akhirnya tumpah juga air langit. Awan tak sanggup lagi menyangga kantungnya. Terlalu berat sampai akhirnya dibiarkan tumpah menjadi hujan yang menyirami bumi. Hitamnya awan menggelapkan pandangan, dan curahan air hujan memburamkan kacaku.  Sesekali aku mengusap kaca jendela dengan telapak tanganku.  Berusaha menghilangkan embun yang selalu muncul kembali beberapa saat setelah usapan tanganku.  Pandanganku  menyapu suasana basah diluar. Seharusnya hatiku merasa damai dengan apa yang aku nikmati ini.  Biasanya aku menyukai suasana seperti ini.  Hawa sejuk diimbangi secangkir kopi hangat seharusnya mampu menjalarkan ketenangan hatiku.  Tapi sekarang itu tak bisa lagi aku rasakan.

Kini pikiranku selalu bercabang. Hujan kini menjadi suatu hal yang memiliki dua sisi yang berlawanan. Satu sisi membuatku seperti berada dalam alam yang meyamankan hatiku, tapi di sisi lain membuatku resah dan gelisah.  Cabang pikirku tertuju pada kedua anak laki-lakiku  yang hanya berdua saja di rumah.  Mama mereka bekerja, dan aku berada ratusan kilo meter berjarak dengan mereka.

Pada dini usia mereka bagai terkarbit untuk sedemikian mandiri menghadapi segala persoalan yang kadang tiba-tiba muncul diluar kebiasaan. Sang kakak di usia 9 tahun sudah mampu mengurus keperluan dirinya membimbing adiknya yang 7 tahun itu. Sang adik pun begitu cekatan mengurus dirinya dan menyelesaikan tugas-tugasnya tanpa banyak keluhan.  Mereka berdua begitu kompak.

Sumpah... aku bangga dengan mereka.  Sebagai papa... aku merasa berhasil menanamkan nilai-nilai kebaikan kepada mereka.  Dan kemandirian mereka adalah turunan dari sang mama yang begitu kuat dalam menjalani setiap masa kehidupan. Meskipun begitu, sering aku merasa bersalah kepada mereka yang terpaksa menikmati masa kanak-kanak mereka dengan suasana yang berbeda dari teman-temannya.  Tanggung jawab yang mereka emban lebih besar dibandingkan anak-anak seusia mereka.

Di luar hujan masih demikian desarnya mengguyur bumi. Dan keresahanku makin meninggi. Terbayang anak-anak yang harus menghadapi genangan air memasuki rumah tiap hujan selebat ini. Masalah yang belum terselesaikan ini membuat kedua jagoanku harus berusaha keras mengadaptasi diri mereka.

Yang membuatku salut pada mereka adalah mereka tak pernah menelponku dengan teriakan cemas akan air yang menggenangi bagian dalam rumah.  Mungkin mereka pikir percuma menelponku.... "Toh papa jauh, ngga akan bisa datang segera biar ditelpon juga..." Jadi mereka berusaha menyesuaikan diri dengan kondisi yang ada.  Karena untuk membereskan semuanyapun mereka merasa tak mampu, jadi mereka cuek saja dengan situasinya.

Pernah suatu waktu aku menelpon mereka begitu aku mendengar hujan lebat mengguyur wilayah tempat tinggalku.
"Halo..."
"Halo, pa...", adek menjawab dengan lesu.
"Hujan ngga disitu dek? Air masuk ngga..?" aku terburu-buru bertanya.
"Hujan lebat Pa... air masuklah....", jawabnya santai
"Kakak udah pulang..?"
"Belum, Pa.."
"Adek lagi ngapain...?"
"Tidur..", jawabnya kalem seperti tak ada masalah.  Padahal dia sendirian di rumah dengan kondisi air menggenangi rumah dan hujan masih lebat di luar. Tak ada kecemasan, atau mungkin untuk menghilangkan kecemasan itu dia merasa lebih baik tidur.

Akupun tersenyum sendiri.  Hebat juga adek bisa setenang itu.  Dan akhirnya aku  melanjutkan pekerjaanku.  Tapi hatiku tak setenang adek.  Sebab seharusnya aku ada di dekatnya, seharusnya mamanya ada menghiburnya.  Ah... aku berusaha menepis rasa bersalah ini dengan do'a semoga anak-anakku akan menjadi anak-anak yang kuat dalam menghadapi segala persoalan kehidupan nantinya.

Rasanya, kali ini akupun merasa perlu untuk menelpon mereka. Daripada aku gelisah. Maka segera aku bangkit meraih telepon genggamku.
"Halo..."
"Halo Pa..." si kakak menyahut dari arah sana
"Sedang apa Kak...?"
"Sedang nggambar Pa..."
"Di tempat papa hujan lebat, disitu hujan ngga..? Air masuk ngga...?"
"Wah... disini ngga hujan Pa... malah panas..."

Hihihihi... aku jadi geli sendiri... ternyata keresahanku lagi-lagi salah.  Ternyata mereka baik-baik saja dengan keadaannya.  Sebaris rasa syukur akhirnya terucap dalam hati... Terima kasih Tuhan... atas hujan yang tidak merata ini.  Dan aku mencoba menikmati suasana hujan yang masih ada dengan caraku.  Suasana kamar kos ku menjadi terasa betul-betul nyaman, dan secangkir kopi hangat melengkapinya.

***Buat sahabatku Iskandar Tan***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar