"Say... mau nggak..?" semangkok mie instan aku bawakan untuknya. Suamiku menoleh dan menyambutku dengan senyum. Sejenak dialihkannya pandangan padaku. Tak merasa terganggu oleh kedatanganku meski sesaat sebelumnya dia tengah tenggelam pandangan pada lautan lepas dihadapannya. Angin malam berkibas-kibas pada tubuhnya. Namun hawa dingin tak membuatnya beranjak dari bibir pantai. Bulan berbaik hati menemaninya dengan bulatan purnamanya. Tak ingin melewatkan moment itu, maka aku menyusulnya dengan membawa semangkuk mie instan untuk menghangatkan badan.
Kami duduk pada batang pohon yang teronggok pada bibir pantai. Entah ada yang meletakkannya di sana ataukah terbawa oleh gulungan ombak. Kami berterima kasih bisa memanfaatkannya untuk menikmati nuansa malam di pantai itu. Dalam sekejapan kami berbagi semangkuk mie itu. Cukuplah untuk menambah romantisme suasana hati. Aku merapat pada tubuhnya. Dan dia menyambutku dengan dekapan hangatnya. Kedamaian menjalar pada hatiku, mungkin juga hatinya. Sedetik kemudian aku menyadari banyak hal. Amat banyak. Seolah tertangkap oleh senyuman bulan, seakan tertuang pada luasnya lautan. Tidak... ini lebih dari itu. Tak ada yang bisa menggambarkannya. Tak ada yang bisa dijadikan perumpamaan. Perasaan yang membuncah didadaku hanya bisa aku rasakan. Mengaliri darahku dengan aliran yang sempurna. Membawa ketenangan yang tak terkira. Berada di bibir pantai pada malam hari dengan sang bulan bersinar bulat purnama, adalah pengalaman pertama kami. Maka saat itu memang tak ada kata yang mampu melukiskan apa yang ada di hati kami.
"Subhanallah... Indah ya Say," suamiku menunjuk purnama yang sempurna menerangi malam itu. Cahanyanya memantul pada ujung cakrawala yang menggaris. Terlihat samar dalam keremangan malam. Aku mengangguk menyetujui ucapannya.
"Bersyukur rasanya kita bisa sampai disini,"
"Kamu gimana?" tanyanya padaku.
"Aku suka mas."
"Anak-anak gimana?"
"Kelihatannya mereka juga menikmati."
"Sedang apa mereka di tenda?"
"Tadi mereka merebus kerang yang mereka dapat tadi sore."
"Nanti kita buat api unggun ya."
"Ya mas... Anak-anak semangat banget mengumpulkan ranting-ranting tadi. Ubinya dibakar sekalian nanti."
"Untung cuaca cerah ya."
"Alhamdulillah.... Semoga sampai besok pagi tetap cerah begini."
"Aku sudah buat parit disekeliling tenda. Jadi kalau hujan mudah-mudahan tenda aman. Atasnya juga sudah aman aku tambah terpal. Belajar dari kegagalan camping di gunung waktu itu. Nggak akan terulang lagi deh," ucapan yang cukup menenangkanku lebih dalam.
Sayup-sayup terdengar gelak tawa anak-anak yang sedang bercanda di depan tenda. Cahaya lampu seadanya tak membuat mereka mengeluh. Malah justru berusaha memanfaatkan penerangan yang ada sebaik mungkin. Luar biasa anak-anak itu. Tak ada keluhan dari bibir mereka sejak menginjakkan kaki ke pulau ini. Tak ada fasilitas apa-apa disini. Lebih ekstrim lagi, tak ada penghuni tetap di pulau ini. Yang ada hanya sebuah keluarga yang menunggu pulau, dan para pemancing yang sudah langganan datang ke sini. Berada di pulau ini memang harus siap bekal dan mental. Mental anak-anak memang diuji disini. Dan menurutku mereka lulus ujian itu. Mereka mempelajari sekitarnya dengan sapuan pandangannya. Membantu ayah mendirikan tenda, mencari ranting di sekitar pulau, mengumpulkan kerang-kerang yang menempel pada batu-batu karang, bermain pasir membuat gundukan berbentuk istana. Kalaupun ada keluhan, mereka lakukan dalam hati. Tak terucap sebab pengalaman pertama mereka berada di pulau tak berpenghuni itu melebihi segalanya.
Ekspresi antusias mereka sudah terlihat sejak menaiki kapal nelayan yang membawa kami menuju Pulau Kayangan. Sepanjang menyebrangi lautan terlihat di kanan kirinya banyak tancapan-tancapan bambu yang sengaja dipasang oeh para nelayan untuk mengkembangbiakkan kerang hijau. Pertanyaan demi pertanyaan mereka lontarkan dengan penuh rasa ingin tahu. Dan setibanya di pulau itu, anak-anak kegirangan bermain pasir dan ombak. Sore hari untuk pertama kali kami berwudhu dengan air laut. Ashar tadi pertama kali kami menggelar sajadah di tepi pantai. Ujung-ujung sajadah harus kami bebani dengan batu agar tidak tertiup angin. Allahu Akbar... rasanya luar biasa bersujud ditempat yang indah ciptaanNya. Langsung mengagungkan namaNya dan berterima kasih atas nikmat yang diberikanNya. Diatas pasir putih sajadah tergelar. Sajadah yang tidak lebar tapi besarnya keagungan Tuhan seakan ada didalamnya.
Biarlah... kami memang tidak membawa anak-anak berlibur ke tempat yang nyaman. Tidak menginap di hotel mewah atau setidaknya penginapan yang hangat. Tidak mengajak mereka makan ke restauran yang menghidangkan masakan-masakan menggugah selera. Tidak juga membawa mereka bermain ke arena hiburan yang lengkap dengan berbagai permainan menarik. Ya... kami tidak membawa mereka ke sana. Tapi ke sini. Ke salah satu pulau tak berpenghuni di Kepulauan Seribu. Pulau Kayangan. Harapan kami anak-anak akan mampu beradaptasi dengan segala situasi. Mampu mengatasi persoalan dalam keadaan yang tidak nyaman. Bagaimana bertahan dalam situasi dan kondisi yang minim dan tidak nyaman.
Alhamdulillah mereka melewatinya dengan baik. Wajah ceria tampak menghiasi mereka. Ringan mereka melangkah, riang mereka tertawa, dan kuat mereka bertahan.
kayaknya keren sekali pulau kayangannya
BalasHapusdi jepara juga ada pulau seperti pulau kayangan namanya pulau panjang ^^
salamkenal
Pulaunya sih ngga keren-keren amat.... Lumayanlaahh... Dulu waktu jaman VOC di pulau itu ada Rumah Sakit Sterilisasi Haji. Sampai sekarang bekas bangunannya masih ada. Pulaunya kecil kok...
HapusYang bikin keren karena ada kami sekeluarga... hehehe....
Salam kenal kembali...
Aku dah pernah ke Pulau Panjang, emang bagus....
HapusSubhanallah... bisa dibayangin indahnya pulau tersebut :)
BalasHapusbunda sama ayah romantis banget ciii, jadi ngirii deehh :D
hihihihi... jadi malu baru nyadar pamer kemesraan...*tutup muka pake ujung jilbab*... Pulau itu indah kalau kita lihat pakai hati, kalau tidak pasti hanya keluhan yg akan ada. :)
HapusTamasya sederhana jika hangat dan penuh tawa canda dan keakraban tentu lebih menyenangkan sekaligus membahagiakan.
BalasHapusBanyak mereka yang hartanya melimpah tapi suasana rumah tangannya kacau karena saling berlomba keluar rumah untuk tujuan yang tak pasti.
Kebersamaan sungguh sangat penting.
Salam hangat dari Surabaya
Walau sederhana sebetulnya kami mempersiapkannya cukup matang oakde. Sebab membawa anak2 ke tempat seperti pulau ini tetap ada resikonya. Membuat anak2 bisa menikmati suasananya juga perlu dipikirkan. Kalau tidak mereka bisa jenuh. Sebab tak ada apa2 di sana. Alhamdulillah, saya takjub dengan kemampuan anak2 beradaptasi.
HapusTidak ada penghuni tetapnya...?? :Kaget
BalasHapusIya... betul kok... Tak ada rumah2 penduduk, tak ada listrik, mck hanya ada 1 yang kebetulan waktu itu tidak bisa kami pakai karena dikunci.
HapusAda 1 keluarga yg bertugas menjaga pulau itu. Sebab utk masuk harus tetap membayar seperti tiket masuk yg cuma bbrp ribu (suami yg urus jadi ga tau berapa persisnya). Penghuni lainnya betul2 tidak ada. Selama kami disana hanya bertemu mrk waktu datang dan waktu mau pulang.
Mau coba...? Hehehe...
wau romantis banget...
BalasHapuskadang suasana membuat seseorang mendadak menjadi romantis.
sepertinya pulau ini sangat mendukung untuk itu.
bersama keluarga dalam sebuah tenda... masya Allah..
sambil bertadabur alam ya mbak Niken..
Memang bertadabur alamlah tujuan kami. Saya dan suami suka sekali dengan camping. Beberapa kali camping di pegunungan. Sekali2 pengen coba suasana lain ke laut. Alhamdulillah anak2 jadi tidak manja.
HapusDan semakin merasakan Kebesaran Allah dalam suasana alam... rasanya luar biasa. Tak ada nikmat Allah yang bisa kita dustakan.
Ayo dah diamprokin dua keluarga. Berkemah di Pulau Rambut aja hehe...Sekalian nentuin tanggal xixixix--kabuuuur :p
HapusMas Belalang... Amprokan 2 keluarganya ga usah pakai kemah dong...
HapusKhan situ thoo yg jadi pembawa acaranya.. Ntar alesan lagi ga bs ninggal bumi.