Rabu, 02 Mei 2012
Suara Hati
Kalau kalian menganggap ini mudah buatku.... maka kalian salah. Aku memang ingin mengesankan bahwa ini memang mudah. Apa yang kalian lihat pada diriku memang sepertinya begitu ringan. Aku menjalani hari-hariku dengan rasa syukur yang dalam atas pemberian Allah padaku. Bahwa apa yang aku punya, apa yang ada padaku saat ini, apa yang melekat pada tubuhku, apa yang aku terima dari keluargaku, semua yang aku peroleh dari pasanganku, adalah sebuah karunia dari Allah yang sangat luar biasa. Maka seperti inilah kalian melihatku. Bahagia dan membahagiakan.
Aku ingin seperti mentari. Cahayanya jauh menjamah seluruh pelosok bumi. Tak terhitung makhluk yang menikmati setiap masa cahayanya. Sinarnya menyala tak terbantahkan. Pesonanya tak terelakkan. Kehangatannya membahagiakan. Bahkan terbenamnya pun penuh keindahan. Dan mentari tetaplah mentari. Dia tetap bulat utuh dengan nyalanya. Tak menjadi kecil, tak menjadi habis. Sinarnya utuh. Tetap anggun pada kekuatannya.
Tapi... saat diri menyadari... ternyata aku hanyalah sebatang lilin. Menyala saat ada pemantik api menempel pada sumbuku. Sinarku redup dalam jangkauan jengkal. Cahayaku hanya membantu satu dua makhluk. Mungkin bermanfaat buat yang merasa gulita. Namun sebenarnya tak menghangatkan. Aku membakar diriku untuk dapat membiarkan apiku menyala. Aku leleh oleh bakaran sumbuku sendiri. Dan... tak sanggup aku membayangkan manakala aku harus habis dan apiku mati. Gulita akan menjadi gelap yang panjang. Buat sekitarku... dan buat diriku sendiri.
Aku bahkan laksana menggenggam bom waktu yang sudah aku putar sendiri saat ledakannya. Aku siap meledak bersamanya. Mengkeping-kepingkan jiwa ragaku menjadi ribuan serpihan. Aku merakitnya sendiri. Menggenggam erat dan membawanya kemanapun aku pergi. Seakan menandakan ada bagian hatiku yang aku matikan rasanya. Ada pandangan yang aku tutup arahnya. Dalam helaan-helaan nafasku... aku bersiap untuk meledak, menjadi kepingan.
Aku tak bisa mundur. Mundurku hanya akan menorehkan luka. Banyak luka. Pada banyak hati. Aku hanya bisa maju... agar tak ada torehan luka... pada banyak hati, kecuali hatiku sendiri. Apalah arti sayatan ini buatku, kalau dengan itu aku mengembangkan senyum pada bibir-bibir terkasih. Mungkin ini adalah wujud rasa syukurku, pada apa yang sudah aku terima. Pada anugrah yang aku nikmati pada tiap kerjapan mataku. Pada saat hati merasa banyak menerima, saat itulah muncul keinginan memberi. Pada saat tikungan terasa membingungkan arah, saat itulah jalan keluar diperlukan. Pada saat diri merasa berada pada titik kelemahan, saat itulah sebuah kekuatan menyangga.
Sang Maha Penguasa Hati selalu dihadirkan dalam menjelmakan ketenangan. Sang Maha Kuasa adalah puncak tertinggi keagungan yang ingin aku daki. Jiwa raga ini adalah milik-Nya dengan segala kepasrahanku pada kebesaran-Nya. Ampunan tak usai kupanjatkan atas segala kesalahan yang mengkelabukan tahapan kehidupanku.
**Suara hati seorang teman. Aku mengerti alunan irama hatimu, temanku....**
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Jujur saya tidak pandai menterjemahkan kalimat demi kalimat dalam tulisan ini, hanya bisa merasakan suasana hati yang merindu pada sesuatu
BalasHapusitu sudah cukup.
Hapus