google image
Siang yang penuh keriuhan. Tawa-tawa lepas menghiasi tiap sudut rumahku. Cerita-cerita lucu silih berganti mengalir dari tutur anak-anakku. Membuat gelak semakin marak. Sesekali aku menimpali candaan mereka. Terkekeh sambil bercakap. Luasnya rumah tak terasa sebab kami semua berkumpul di ruang keluarga. Aku, istriku, ketiga anak perempuanku dan suami-suami mereka. Cucu-cucuku bermain di halaman. Begitulah suasana rumahku bila anak cucuku berkumpul.
Namun tak ada yang tahu. Sejujurnya dalam hatiku menelusup perasaan gelisah. Sebetulnya kurasakan sesak yang tak aku tahu apa penyebabnya. Seolah bersiap menghadapi kehampaan yang sebentar lagi kurasakan. Selalu begini. udah beberapa tahun ini. Selalu saja begini. Sejak satu persatu anak-anakku menikah dan diboyong suaminya meninggalkan rumah besarku. Seketika itu kesepian menjadi teman hari-hariku. Begitu akrab bersahabat. Begitu setia dan langgeng bersemayam dalam hati.
"Aku akan sering-sering mengunjungi ayah ibu, jangan sedih ya ayah," teringat saat-saat Santi anak bungsuku berpamitan mengikuti suaminya yang bertugas di Bandung.
"Bandung - Tasimalaya itu dekat ayah, aku bisa datang kapan saja," begitu teduh suara Santi saat mengucapkannya. Dia tahu apa yang aku rasakan dengan kepergiannya itu. Santi anak bungsuku yang paling memahami ayahnya. Paling dekat denganku. Saat kakak-kakaknya lebih dulu pergi mengikuti suaminya masing-masing, Santilah yang selalu menghibur aku dan ibunya dengan kisah-kisah riang.
Awalnya memang begitu. Santi seminggu sekali datang menjenguh ayah ibunya. Kadang sendiri, kadang dengan suaminya. Namun kemudian berangsung menjadi sebulan sekali, tiga bulan sekali, setengah tahun sekali, bahkan sudah dua tahun ini hanya saat Idul Fitri tiba. Sepertinya Santi sudah repot dengan pekerjaan rumah tangga dan kedua anaknya. Apalagi Santi juga bekerja di sebuah travel biro. Aku dan istriku berusaha memakluminya. Mencoba menerima bahwa Santi sekarang sudah milik suami dan anak-anaknya.
Kalau Santi saja yang dekat jarang berkunjung, apalagi dengan Dewi yang tinggal di Medan dan Tya yang tinggal di Solo. Mereka hanya bisa berkunjung pada saat liburan anak sekolah atau Idul Fitri. Makanya aku selalu memanfaatkan pertemuan yang rasanya hanya sebentaran itu.
Tubuhku makin ringkih. Tak lagi bisa bekerja seperti dulu lagi. Tabungan yang aku kumpulkan selama bekerja dulu sudah habis. Aku bukanlah pegawai negeri yang bisa menikmati uang pensiun di hari tuanya. Meskipun dulu aku punya jabatan di pabrik tempatku bekerja, tapi dengan biaya hidup dan tubuh yang makin renta ini, tabunganpun menyusut ramping dan akhirnya habis. Untungnya sempat menyisihkan sebagian untuk modal istriku membuka warung kecil di depan rumah. Warung itulah yang kini menjadi penompang hidupku dan istriku.
Anak-anakku memang sudah mandiri semua. Tak sekalipun mengeluhkan urusan rumah tangga mereka. Namun mereka tak bisa selalu mengirimi kami uang. Sepertinya mereka sudah kesulitan dengan urusan rumah tangga masing-masing. Orang tua memang harus ikhlas dan tanpa pamrih dalam merawat dan mendidik anak-anaknya. Dan akupun memahami hal itu. Tapi kadang bila aku atau istriku harus ke dokter untuk mengobati tubuh yang makin renta ini, jujur aku kadang mengharap pengertian mereka.
"Aku minum obat warung sajalah yah. Pakai obat ini juga bisa sembuh kok," istriku selalu menolak ke dokter bila sakit.
Iba rasaku melihatnya. Teringat dulu istriku begitu memperhatikan kesehatan keluarga. Kecekatannya mengurusku dan anak-anak ketika sakit selalu membuatku takjub. Tapi kini saat dia sendiri sakit, dia harus mengurus dirinya sendiri karena aku sibuk mengurus warung. Obat pun harus seadanya.
***
Siang itu aku dan istriku sedang duduk bersama di depan warung, ketika seorang kurir membawakan kiriman paket dari anakku Dewi. Tak menyangka dengan kejutan siang itu, karena memang Dewi tidak memberi kabar akan mengirim paket. Sepertinya Dewi ingin memberi kejutan kepada ayah ibunya.
Setelah menandatangani tanda terima, kami bergegas masuk ke dalam rumah dan membuka bungkusan kardus yang begitu rapi itu. Alhamdulillah... isinya makanan khas Medan yang sudah jadi kesukaanku dan ibunya. Ada bolu Meranti, Bika Ambon dan sirup Markisa. Namun, aku lebih tertarik pada sebuah surat tak beramplop yang diletakkan diantara kardus makanan itu.
Sebuah puisi yang ditulis tangan oleh Dewi. Tertuju untuk ayah dan ibu. Membacanya... tak terasa buliran air mata menitik, dan tanpa tertahan berubah menjadi aliran deras. Tergugu tak mampu kukuasai. Biarlah... biarlah aku puas dengan air mata ini. Rinduku kian menggunung. Haru dan bahagia berkecamuk menjadi satu. Sebuah uangkapan hati yang aku rasa mewakili perasaan ketiga anakku.
Sebuah puisi yang ditulis tangan oleh Dewi. Tertuju untuk ayah dan ibu. Membacanya... tak terasa buliran air mata menitik, dan tanpa tertahan berubah menjadi aliran deras. Tergugu tak mampu kukuasai. Biarlah... biarlah aku puas dengan air mata ini. Rinduku kian menggunung. Haru dan bahagia berkecamuk menjadi satu. Sebuah uangkapan hati yang aku rasa mewakili perasaan ketiga anakku.
Hening malam membawa hati dan pikirku lekat pada halus tutur kata ibu. Terpaan angin malam mengenangkanku pada hangat dekapan ayah. Berkecamuk rasa di hati ingin mengulang lembaran hidup kala berada dekat dengan mereka. Tak mampu kujaga rasa, hingga makin menyiksaku pada rasa rindu yang dalam. Aku hanya mampu menundukkan kepala pada hening sujud panjangku. Lantunan dzikir kukirimkan sebagai penenang rasa gelisahku.
Lalu...bagaimana bisa kutahan air mataku. Semua berurai tak terbendung. Membuat dua aliran kecil pada bulat pipiku. Tak mampu kuhitung segala pemberianmu. Tak terhingga kau semaikan benih-benih kasih sayang padaku. Benih-benih yang kemudian tumbuh subur menjadi kebijakan. Dan membuahkan pengetian untuk saling menguatkan. Serta membiakkan keikhlasan pada tiap keadaan. Maka semakin dalamlah rasa rindu mendesakku.Iya anakku... aku memahami semua itu. Kau pun seperti mengerti apa yang dirasakan seorang ayah tua ini. Hatiku seakan terpaut dengan anak-anak. Rindu yang dalam pada kalian anak-anakku dirasakan sama oleh mereka. Tak layak rasanya aku membayangkan bahwa mereka tidak perduli padaku. Sebuah proses kehidupan yang harus aku lalui. Tidak mudah tapi harus aku jalani.
Ayah ibu...maafkan anakmu... aku belum bisa memutuskan rentang jarak dan waktu. Kewajiban memaksaku berpijak pada tempatku. Aku bagai berdiri pada dua bagian bumi. Kanan pada bumimu, dan kiri pada bumi suami dan anak-anakku. Namun aku tetap akan datang kepadamu ayah ibu... Dan sebelum tiba waktu itu, aku tumpahkan kasih mesraku pada untaian doaku. Yang selalu mengiringimu pada tiap desahan nafasmu. Sekalipun aku tak meminta hadir ke dunia, tapi Allah memberiku berlimpahan cinta dari ayah dan ibu. Terima kasih Allah... Terima kasih ayah ibu
***
Istriku sibuk menyiapkan apa-apa yang akan kami balas kirimkan kepada anak-anak. Tidak untuk kepada Dewi, tapi juga untuk Santi dan Tya. Kering tempe dan teri, peyek kacang, dan putri salju. Mereka amat menyukai ketiga makanan itu. Sudah menjadi favorit di keluargaku. Akan kukirimkan dengan paket kilat agar segera sampai.
Diam-diam kucoba merangkaikan kata sebagai curahan rasa rinduku pada mereka. Sementara istriku mempersiapkan makanan-makanan itu, di kamar aku tulis dengan tangan gemetar...
Ya Allah... aku bersujud kehadirat-Mu. Kusampaikan rasa terima kasihku atas semua yang telah Engkau berikan padaku, dan aku mohonkan ampunan-Mu. Kupanjatkan doa seirama detak jantungku. Kau berikan aku amanah 3 Permata Hati yang cantik-cantik. Mereka tercipta untukku. Aku laksanakan amanah-Mu dengan apa yang aku bisa.Segera kulipat kertas putih itu sebelum lusuh oleh air mataku. Dan kutemui istriku di dapur untuk membantunya menyiapkan makanan yang hendak kami paketkan. Aku baik-baik saja... Rinduku adalah sebuah keindahan dari hidupku. Membuatku merasa berarti ketika pagi membuka hari.
Kini mereka telah dewasa, dan menjadi hamba-Mu yang setia. Dan kini mereka telah memiliki dua bumi untuk dipijak, kusadarai itu harus terjadi. Kini merekapun sudah menjadi pengemban amanah-Mu.
Sekarang aku merasa sepi... Dalam sepiku kadang terbayang masa lalu saat aku masih membelai mereka, masih berada dekat dengan mereka. Tapi Kau tahu semua itu adalah sebuah putaran waktu yang tak bisa aku hindari. Maka aku panjatkan doaku ya Allah... Berilah kebahagiaan, kesejahteraan dan perlingdungan-Mu, terimalah ketiga mutiara hatiku sebagai hamba yang Engkau sayangi. Aamiin.
hiks sedih ya mak..
BalasHapussaya juga suka berfikir bagaimana jika nanti saya tua.
iya yaaa... lagi pengen meloow...
HapusAndai masa tua kita seperti itu. kita bikin arisan aja yuuk... wkwkwk...
Manusiawi jika orangtua merindukan anak-anaknya.
BalasHapusSaya jadi ingat sinetron di TV tentang seorang ayah yang menunggu kedatangan putra-putrinya menjelang lebaran. Mereka yang sudah sepakat datang ternyata satu persatu ada kegiatan. Setiap melihat anak tetangga datang si ayah nelongso.
Pada hari H-1 datang taxi, dikira anaknya. Ternyata yang datang sahabat anaknya. Sahabat anak itulah yang kemuduian mengontak temannya agar mudik.
Tak diduga pada malam takbiran anak-anaknya bisa datang atas kesadaran mereka sendiri.
Untunglah kini saya dekat dengan anak-anakku sehingga di masa tuaku ini saya bisa melihat anak cucu setiap saat.
Apik jeng kisahnya. Kumpulkan lalu kelak dibukukan.
Saya sedang mengedit naskah untuk dibukukan nich. Tulisan ecek-ecek sih tapi lumayan.
Salam hangat dari Surabaya
Trimakasih ceritanya pakde...
HapusPakde bahagia ya... dekat selalu dgn anak cucu.
Insya Allah nanti kalau udah banyak dibukukan De...
Wa'alaikumsalam
Hmm, terharu bacanya Bunda..
BalasHapusjadi kangen rumah...
sama mbak Prit...
Hapuskangen rumah bapak di yogya....
Setiap sesuatu ada Fase yang harus dilewati dari mulai lahir hingga meninggal. Nikmati aja prosesnya serta dibarengi sabar dan syukur...
BalasHapusoke,,, trims...
Hapusoke,,, trims... jg..
HapusYa... Oke... Trims...
HapusBegitulah kehidupan, betapa pun besarnya cinta kasih kita kepada anak-anak kita, tetap tak akan mampu untuk mengikat mereka agar senantiasa ada untuk kita. Pada saatnya, mereka akan pergi dan menjadi 'milik' orang lain. Anak perempuan akan mengikuti suami, dan anak laki-laki akan menjadi imam dan melindungi keluarga barunya.
BalasHapusHanya suami/istri yang setia [jika memang masih diberi umur panjang], yang akan menemani keseharian masa tua kita... Dan begitulah lazimnya siklus kehidupan. Dan sebagai orang tua, tetap saja, cinta dan kasih sayang kita tanpa pamrih, do the best to the children, bagaimanapun sikap atau masa depan membawa mereka nantinya... Dan bagi yang tidak punya pasangan? Tak perlu sedih, semua sudah punya jalan masing2... begitu kali ya mba?
Fiksi yang indah mba Niken.... makin kreatif euy!
kayaknya komennya bisa jadi fiksi sendiri niih.. hehehe....
HapusMakasih mbak Alaika...maju terus aaahh....
Tak ada yang boleh merenggut harapan dan mimpiku...!
jadi ingat bapak ibu mertua di jogja, 3 anaknya jauh semua, satu di serang, satu di serpong tangerang, satu lagi di jepang (suami). Udah sering berharap spy suami cpt pulang ke indo nemenin bapak ibu. Tapi kami msh ada urusan disini, msh ada mimpi yg ingin kami wujudkan disini. kadang galau klo tiap telpon selalu ditanya kapan pulang... hikss...... aku yg bingung jawabnya... T_T
BalasHapusBegitulah lakon hidup yaaa...
Hapuskita memang harus memilih. Dan pilihan itu bukan berarti tidak sayang pada ayah ibu. Melainkan kita ada kewajiban terhadap keluarga.
Kebayang kebingungan ketika menjawab telpon. :)
oh... selalu bun...
BalasHapusbunda selalu mengambil tema yang menyentuh hatiku.
Aaahhh... Liyan nih yang maunya disentuh ama bundaaa....
HapusMaaf yaaaa... :)
hihi.... bunda ayo dibukukan ceritanya. Liyan pesan dari sekarang ya. pemesan pertama! #serius bun. :D
HapusAsyiiik... Bukunya blm ada, udah ada calon pembeli...
HapusPesan: jgn beli kucing dalam karung... Kasian kucingnya... Wkwkwk..
hah??? bunda jualan kucing dalam karung.. xixixi... ^0^
Hapuscocok bun, ayo ikutan, tebak-tebakan hehe.. apa ya? ada: 'kucing' ngumpet, di kebun 'mawar' 'blog'nya bunda 'sore' tadi. Terus dilempar pake 'batu'.. yey ga kena! malah nyasar kejendela kamar dan mendarat manis di 'kasur' empuknya bunda, owh jelas aja ini bikin bunda kelimpungan ngambek ambil 'pedang' Wahh.. gawat!! Untung terdengar suara 'sepatu' ayah mendekat yang rupa-rupanya baru keluar dari 'pintu' 'gudang'. Sehabis mengambil 'jas hujan' buat nangkep tuh kucing!!!
Hahayyy… bisa kurang dari 150 kata! :D
Liyaaaan... ini tebakan apa...?
HapusBunda baca bolak-balik kok nggak ngerti juga mesti nebak apa...? #lemot
Apa sih ini...? Kucingnya udah dikasih makan belum...? #GJ...
hehe bundaaa... kirain udah nyambung. :)
Hapusini adalah lomba fikmin (fiksi mini) bloof bun. coba diliat kirimannya pak/om Andi Ahmad Fairuslm
di dalamnya harus ada kata yang ditanda kutip koment liyan diatas itu bun: batu, pedang, sepatu, kucing, pintu, gudang, jas hujan, sore, mawar
panjangnya max 150 kata :D begitulah...
kucingnya kabuuur bun, katanya mo nyari makan sendiri ^_^ #ikutan GJ
Ooohh... iya..iya.. baru baca Liyan... Ga liat kiriman mas Andi itu kemaren. hehehe....
HapusAyo ikutan Liyan... Bunda pinjemin kucing bunda deh... Tapi karungnya punya sendiri khan..?
wkwkwkwk....
Jadi kangen abah di rumah... T_T
BalasHapussamaaaa....
Hapuskena sendiri sama cerita yg dibikin sendiri...
Kisah yg menguras jiwa & Raga, semoga kita bisa selalu berbakti kepada kedua orang tua kita
BalasHapuswaduh jangan dikuras gitu dong....
HapusAamiin...Insya Allah org tua ridha...
Hiks... mengharu biru :')
BalasHapusSelama haru masih berwarna biru... Berarti msh ada keindahan didalamnya...
Hapus#macak ciiih...?
Sering kali inilah yang aku lihat bund, masa tua yang ditinggalkan oleh mereka yang seharusnya ada di sisinya. Ironis dan tragis!
BalasHapusSemoga akhirnya hidup kita bahagia ya bund,
Amin ..
Aamiin...
HapusIroni tapi itu realita kehidupan. Proses yg hrs dilalui tiap orang.
Smg yg terbaik buat kita dan keluarga.
siklus yang selalu berulang, itulah kehidupan dunia. kelak, saya pun akan mengalaminya.
BalasHapusdan sekarang saya menangis.
Betul mas Banyu...
HapusAkan tiba saatnya buat orang tua hrs ikhlas akan periode kehidupan.
#Tissue nih mas..
pada akhirnya, anak2 memang harus hidup mandiri dan berubah menjadi orang tua seperti orang tuanya dulu....
BalasHapusmenjadi pendidik terbaik bagi anak2nya....
menjadi penyayang terbaik utk anak2nya....
Dan semua akan mengikuti kekonstanan putaran waktu.
HapusInsya Allah. Aamiin.
terkadang realita itu berbeda 36o derajat dengan tulisan fiksi,itulah yg kerap tidak kita sadari namun apa pun itu bersyukur sekarang karena itu cara terbaik yg bisa kita lakukan
BalasHapusNamanya juga fiksi mas Andy, sekalipun kadang based kisah nyata, tapi dlm bentuk tulisannya tetap memasukkan imaginasi penulisnya.
Hapushiks, sedih jadinya
BalasHapusaku ingin sekali saat mereka tua mereka dekat denganku agar aku bisa berbakti
tulisan ini mencerhakna mbak
Kalau mmg bisa diupayakan demikian akan lbh baik Kang Haris.
Hapusjadi pengen nangis :'(
BalasHapusIngat ayah bunda ya mbak...
HapusJangan nangis.. nanti mereka ikutan sedih..
Berkunjung mba..ikut menyimak..hehe
BalasHapussalam kenal mba:D
Silahkan menyimak...
HapusSalam kenal kembali.
jadi ingin pulang nih inget orang tua baik ayah dan ibu
BalasHapusIya ya mas Opick... setelah saya baca berulang2 ternyata mmg jadi makin kangen sama ortu... :)
HapusFlash fiction-nys smkn oke saja.. Wah, kayanya hrs sering2 melatih imajinasi kaya mb niken nih.. Saya jd ingat ibu sy yg tinggal sdr krn 4 anaknya sdh mlencar smua. Smg ortu kita smua selalu diberi kesehatan dan perlindungam dr Allah ya mb..
BalasHapusAamiin....kita mohonkan perlindungan kepada Allah. Sambil tetap selalu berkirim kabar dan mengunjungi di saat1 tertentu.
HapusJangan jadi sedih lho yaaa..
BalasHapusDoakan saja beliau smg ada dalam perlindungan Allah.
Mengingatkanku dengan orang tuaku yang sekarang merantau di Bogor. Jadi kangen ingin bertemu sejak Idul Fitri yang telah lalu, lama juga ternyata. Tapi Bogor - Wonogiri itu tidak dekat :(
BalasHapusPernah curhat disini : http://kabupatenwonogiri.com/kesederhanaan-dalam-dekapan-semangat-kekeluargaan-di-hari-idul-fitri
Semoga orang tuamu selalu dalam lindungan Allah dan sehat selalu.
HapusKe tkp deh...