Frangipani Flower Lovely Little Garden: Fiksiku: Satu Hati Dua Rasa
There is a lovely little garden in a corner of my heart, where happy dreams are gathered to nevermore depart

Selasa, 11 Desember 2012

Fiksiku: Satu Hati Dua Rasa



Siang itu suasana di Hi-Tech Mall cukup ramai pengunjung. Seperti biasanya jika hari Sabtu digelar pameran komputer di sana. Banyak counter yang menawarkan harga miring. Cukup menggiurkan dan kadang membuat lapar mata. Aku sendiri sebenarnya hanya ingin mencari hardisk computerku yang jebol. Ku masuki counter demi counter dengan harapan bisa dapat barang dengan harga yang lebih miring dari yang paling miring.

Diantara bisingnya pengunjung Hi-Tech lamat-lamat kudengar suara memanggil namaku, kucari dari mana arah suara tadi. Dari jarak kira-kira tiga meter kulihat seorang wanita berjilbab melambaikan tangan kepadaku dengan seuntai senyuman ramah dibibirnya.

“Assalamu’alaikum” wanita itu menyapaku.
“Wa’alaikumsalam” kubalas sapaannya

Terkejut aku melihat wanita berjilbab itu. Ah..! Jika ada kesempatan untuk menghindar tentu aku lebih baik menghindar dan kabur dari tempat itu. Sebuah pertemuan yang sama-sekali tidak kuinginkan. Wanita itu adalah Artha teman SMA yang juga teman kuliahku. Artha mengambil jurusan Sosial dan Politik sedangkan aku jurusan Hukum. Lebih tepatnya, Arta adalah seseorang dari masa lalu yang pernah mengukir kenangan manis denganku.

“Apa kabar Artha ?” sapaku kikuk.
“Alhamdulillah baik”, Artha menjawab dengan rasa canggung.
“Aku dengar kabar sekarang kamu tinggal di Bandung, dalam rangka apa ada di Surabaya nih? Oh iya mana suamimu?” kucoba untuk mencairkan suasana.
“Iya, dulu aku memang tinggal di Bandung, tapi sekarang sudah kembali ke Surabaya.” jelas Artha.

Kamipun terlibat dalam sebuah percakapan yang kaku, maklum sudah lima tahun kami tidak pernah ketemu. Canggung mengingat perpisahan kami dulu dalam suasana yang tidak menyenangkan. Aku merasa Artha begitu hati-hati dalam berbicara. Dan akupun tak berani terlalu terbuka.

“Mana Suamimu?” aku mengulangi pertanyaanku yang belum dijawab
“Ceritanya panjang Sonny, lain kali saja aku ceritakan” jawabnya seakan ada sesuatu yang disembunyikan.
“Oh iya sekarang kerja apa kamu Son?" Artha mengalihkan pembicaraan.
“Desain Grafis, dan design interior “ kataku singkat.
“Oh ya...? Wah.. kebetulan sekali aku sedang membutuhkan design interior untuk ruangan baruku yang akan kujadikan perpustakaan pribadi. Mau nggak bantu aku Son...?"
“Hmm,” aku mengernyitkan dahi sambil berpikir. "Insya Allah, tapi aku kan harus lihat lokasinya dulu biar designnya pas dengan ruangannya”
“Oke, kapan kamu bisa datang kerumah? Ini alamatku,” ucap Artha sembari memberikan selembar kartu nama kepadaku.
“Insya Allah besok saya kerumahmu, kira-kira jam 10 pagi."
“Oke aku tunggu. Sampai besok ya.”

Arthapun beranjak sambil mengucapkan salam kepadaku. Tinggallah aku dalam perasaan tak menentu. Ah, kenapa aku menyanggupi untuk datang kerumahnya, desahku dalam hati, padahal aku tidak ingin menemuinya lagi. Kenapa aku jadi seperti manusia bodoh begini. Tapi aku sudah terlanjur janji padanya dan janji harus ditepati.
*
Hari itu Surabaya sungguh panas, dengan motor kesayangan akupun meluncur kerumah Artha. Ternyata  rumahnya tidak seberapa jauh dari rumahku. Hanya butuh waktu kurang lebih dua puluh menit untuk sampai dirumahnya.

Sampai didepan rumahnya tampak Artha sedang duduk di taman sambil membaca buku. Dari dulu dia memang terkenal dengan kutu buku. Kutenangkan hati agar terlihat wajar di depan Artha.

“Assalamu’alaikum,” ucapan salam kuserukan dengan sopan.
“Wa'alaikumsalam, ayo masuk Sonny pagarnya tidak dikunci kok".
“Kamu masih seperti dulu aja Tha, masih kutu buku.”
“Hehehe... membaca adalah temanku untuk membunuh sepi sekaligus gerbang menuntut ilmu,” jawabnya sambil tersenyum lembut.
“Sebaiknya langsung lihat ruangan dulu yang akan aku dijadikan perpustakaan dan meja kerjaku,” ujar Artha  sambil mengajakku masuk kerumah yang cukup besar.
“Aku hanya bertiga dirumah ini, sama Ina anakku dan mbok Darmi pembantuku.”
“Hanya bertiga dirumah sebesar ini..?" tanyaku setengah kaget
“Iya, hanya kadang adikku dan ayah ibu yang sesekali datang kesini bila kangen sama Ina." dengan santai Artha menjawab pertanyaanku.
“Oh iya, mana suamimu, tidak keberatan kan aku kesini ?" tanyaku heran setelah menyadari bahwa Artha tidak menyebut nama suaminya.

Artha terdiam dan menghela nafas dalam-dalam. Pandangannya tertuju pada frame kecil yang ada gambar seorang lelaki yang sedang menggendong balita lucu. Kembali dirinya dihadapkan pada pertanyaan yang menyesakkan hati. Yang menorehkan luka yang teramat pedih pada hatinya.

“Suamiku masih di Bandung, tapi lebih tepatnya mantan suamiku, sudah setahun lebih kami berpisah. Mas Arman ternyata bukan pria yang baik untuk diriku dan Ina anakku." dengan sedikit tersendat Artha menceritakan sedikit kisah hidupnya.

Cukup tersentak aku mendengarnya. Sungguh hal ini diluar dugaanku. Seketika menyelinap perasaan iba padanya. Namun segera kutepis rasa itu agar tidak menjadi sebuah jalan pikiran yang menggelinding bebas.

“Oh, maafkan jika pertanyaanku tadi telah membuatmu sedih,” kucoba menunjukkan rasa sesalku.
“Tidak apa-apa kok Sonny... Sudah tidak jadi masalah sekarang. Aku sudah bisa menerima kenyataan ini," senyum Artha mengembang membbuat wajahnya makin terlihat manis.

“Oh iya... Bagaimana keluargamu Sonny? Istrimu orang mana nih?" Artha kembali mengalihkan pembicaraan. Boleh kan aku bersahabat dengan istrimu? Rumah kita kan dekat, siapa tahu kita bisa saling mengunjungi."
“Istri...? Aku belum menikah kok Artha," jelasku singkat.
“Kenapa?” tanya Artha ingin tahu.
“Masih ada yang ingin aku raih sebelum aku memutuskan berumah tangga," dengan diplomatis aku menjawab pertanyaannya.

Sekilas aku lihat wajah Artha memerah dan menunduk. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Aku sendiri tengah sibuk menenangkan hatiku. Duuh... kenapa juga jadi nggak karuan begini. Semua terasa begitu tiba-tiba mendesak-desak masuk ke dalam pikiranku. Sementara hatiku berusaha menahan agar pikiran-pikiran itu tidak masuk kedalamnya.

Setelah melihat mengukur ruangan untuk perpustakaan dan mendiskusikan interior yang dikehendaki maka akupun segera pamit pulang. Diperjalanan pulang pikiranku melayang pada masa lima tahun lalu. Artha adalah sosok wanita yang sangat kudambakan waktu itu, dia cerdas, santun dan bersahaja. Tapi perasaan itu berubah menjadi rasa benci setelah tanpa sepengetahuanku, dia menikah dengan laki-laki lain.

Yah... remuk rasanya hatiku manakala aku harus menerima kenyataan bahwa Artha meninggalkanku untuk Arman. Rencana masa depan yang aku rancang dengan Artha hancur berkeping dibuatnya. Aku harus mundur dengan sembilu yang menyayatku. Kucoba memahami alasan Artha mengapa memilih Arman. Tapi apakah harus sebuah hubungan bisnis berarti juga menjadi sebuah keluarga? Sungguh sebuah hal yang sulit aku terima kala itu.


Cukup lama aku sembuh dari lukaku. Mencari makna dari sebuah peristiwa yang amat mengoyak hatiku. Kukumpulkan kekuatan langkah untuk bangkit dan kembali membuat ayunan yang melenggang. Waktu dengan kekonstanan putarannya membuatku menemukan kembali rancangan masa depan. Tanpa Artha aku menceriakan hari-hariku. Kutemukan kembali tawa-tawaku yang sempat hilang.

Kalaupun sekarang aku belum berumah tangga, itu bukan karena aku trauma menjalin hubungan dengan perempuan. Namun aku memang sedang mempersiapkan diri akan sebuah konsep kemapanan. Agar kelak aku bisa menjadi kepala keluarga yang bertanggung jawab kepada anak dan istriku.

*

Ringtone dari telepon selularku berbunyi, cukup mengagetkanku yang tengah konsentrasi dengan desain di komputerku. Kuraih dan kulihat ada nama Artha disitu.

“Assalamu’alaikum,” salam selalu tak lepas kuucapkan tiap menerima telepon.
“Wa’alaikumsalam” jawabnya dari kejauhan
“Sonny, hari ini kamu ada acara tidak? Sekarang aku sedang di Delta Plaza mengantar Inna bermain. Jika tidak keberatan tolong datang ke sini, sekalian kita membahas masalah desain juga ada sedikit yang ingin kusampaikan.”
“Oh.. eh.., i.. iya bisa.. bisa, aku segera datang” jawabku dengan gugup.
"Oke... Aku tunggu ya...!" Artha terdengan seang dengan persetujuanku.

Aah... kenapa lagi-lagi aku seperti orang bodoh, tidak bisa menolak kemauannya, gumamku dalam hati.

Segera aku mengambil jacket dan meluncur ke Delta Plaza. Sesampainya diparkiran kubaca sms darinya, “Sonny, aku di McDonald tempat taman bermain anak.”  Segera aku menuju ke McDonald. Setelah tengok kiri-kanan mencari-cari, kulihat Artha duduk sendiri sambil memainkan jemarinya diatas tuts hapenya.

“Hai Artha... Maaf lama menunggu ya!” senyumku mengembang ketika menyapanya.
“Halo Sonny... Ah.. tidak kok," jawabnya antusias
"Ayo silakan duduk,” tangannya mengisyaratkan agar aku duduk disampingnya.

Ah... kenapa mendadak aku jadi gugup begini?  desahku dalam hati. Kutarik bangku didepan Artha,
“Terimakasih. Aku duduk sini saja. Maaf lama menunggu ya Artha.” sengaja aku memilih duduk di depannya agar tidak terlalu dekat dengannya. Agar tidak semakin gugup.

"Mana Inna? Tadi katamu kemari dengan Inna?" tanyaku sambil menyapukan pandanganku mencari sosok gadis kecil yang cantik itu.
"Oh.. itu Inna sedang di arena bermain dengan mbok Darmi. Kalau sudah di sana susah diajak pulang dia," Artha tak bisa menyembunyikan rasa gembiranya bertemu aku siang itu.

Hatiku berkecamuk tak menentu. Bayangan masa lalu tak mampu kucegah berkelebatan dalam ingatan. Bagai sebuah film yang diputar ulang. Tiba-tiba semua tampak jelas dan kembali mendebarkan. Kali ini bahkan lebih mendebarkan. Artha masih tetap terlihat cantik dimataku. Tak kulihat beban hidup yang dijalaninya sebagai seorang single parent. Ketegaran dan kemandirian yang diperlihatkannya membuatku kagum.

Kami terlebih dahulu mendiskusikan tentang design interior ruang perpustakaan itu. Ada sedikit perubahan yang dikehendaki Artha. Tak masalah. Dan sepertinya memang akan lebih baik kalau direvisi seperti kemauan Artha.

Artha tahu betul bagaimana membuatku terkesima. Aku merasa dia sengaja membangkitkan kenangan lama dengan sikap yang ditunjukkannya. Jujur aku makin tak mampu menguasai perasaanku. Entah siapa yang memulai, tiba-tiba kami sudah  saling menatap dalam. Dan kemudian saling menunduk malu.

"Sonny bolehkah aku menyampaikan sesuatu?" pertanyaan Artha memecah kesenyapan yang meresahkan.
"Silahkan, ada apa Artha?" penasaran aku dibuatnya.
 "Sejujurnya sejak kau datang kerumah waktu itu, aku seperti merasakan suasana hati lima tahun yang lalu. Seolah ada harapan baru ketika bertemu dirimu. Apalagi kau katakan dirimu belum punya pasangan. Maaf jika aku terlalu berlebihan, tapi sejujurnya dalam hatiku masih tersimpan rasa padamu. Aku masih sayang padamu Son," Artha seakan lepas menyampaikan perasaannya. 

Terkesiap aku mendengar pernyataan itu. Bukan itu yang ingin aku dengar dari Artha. Kutatap wajahnya lekat-lekat. Rasa simpati kepadanya mendadak menguap. Helaan nafas panjang mengiringi gerak mundurku bersandar pada kursi. Bibirku terasa kelu untuk menanggapi pernyataan Artha itu. Rasanya aku perlu mengatur irama hatiku agar tetap tenang.

"Kamu marah Sonny? Bagaimana perasaanmu padaku saat ini? Masihkan kau menyimpan kenangan-kenangan kita?" Artha semakin memojokkanku dengan pertanyaan-pertanyaannya.

"Entahlah Artha, aku tidak tahu harus berkata apa. Aku senang kau sudah jujur padaku tentang perasaanmu itu. Tapi di sisi lain, aku hatiku merasa sakit. Ucapanmu mengingatkanku pada torehan luka yang pedih dahulu. Kau mungkin tak tahu Artha, bagaimana aku jatuh bangun mencoba menerima keputusanmu. Kuakui, tak mudah melupakanmu Artha. Caramu meninggalkanku sungguh menyakitkan. Aku coba sekuat tenaga bangkit dan mewarnai hari tanpamu. Dan kini, setelah aku mampu melenggangkan langkahku, kau kembali datang dan mengumbar kata sayangmu...?" tumpah juga emosiku padanya. 

Apa yang selama ini aku pendam sendiri seakan meluap dengan serentetan kalimat yang tak mampu aku kuasai. 

"Tidak Artha... aku tidak bisa menerima ini. Aku tak mau menjadi pelampiasan kegagalanmu berumah tangga. Kau sudah memilih Arman dulu. Jadi terimalah apa yang kau dapat sekarang." tanganku terkepal dibawah meja ketika mengatakannya.

“Aku memang salah Sonny, kuakui itu” Artha mencoba menenangkanku. Tapi semuanya diluar kendaliku, aku hanya seorang anak yang harus mematuhi kehendak orang tuaku. Aku tak diberi kesempatan memilih, tolong mengerti itu Sonny.” 

“Artha.., Aku tak bisa melupakan rasa sakit itu. Caramu meninggalkanku tanpa sepatah kata perpisahan sungguh membuatku tercampak. Ketika itu aku bagaikan balita yang kehilangan mainan kesayangannya. Aku memang tidak menangisimu Artha. Aku tahan segala keperihan yang aku rasakan. Saat ini, atau tepatnya beberapa saat lalu, aku ikuti irama hatiku yang ternyata masih merindumu. Namun entah kenapa, pernyataan sayangmu justru membuatku menjadi kehilangan rasa itu. 

Artha merasa tersudut, garis air mata mengalir di pipinya. 

"Entahlah Artha... aku sulit untuk mendiskripsikan perasaanku sendiri, ada kecamukan rasa saat bertemu denganmu. Aku merindukanmu namun aku juga menyimpan dendam padamu. Aku tak tahu Artha..." perlahan aku bangkit dari dudukku. Meninggalkan Artha yang masih tergugu dalam tangisnya. 


Ditulis bersama oleh: 
Insan Robbani dan Niken Kusumowardhani



76 komentar:

  1. Jiaahh...
    Tutup muka pakai topeng dulu ah...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halaaahhh.... kok pakai topeng kura-kura ninja gitu...?!

      Hapus
  2. ceritanya bagus mbak, mas.. tp sepertinya cerita ini harusnya berseri.. kalo dipaksakan selesai dalam satu part begini, emosinya gak dapat.. #berlagak Ahli.. wkkwkwkwkwkw

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ooo... gitu ya mas Andro...
      Emang ini buatnya rada maksa niih... lebih sulit ternyata buat cerpen bersama dibandingkan puisi atau artikel.

      Cerita berseri....? Tuing....tuing.... :D

      Hapus
    2. Usulan diperhatikan...
      yang penting tidak bikin pembacanya boring...

      Hapus
    3. sebenarnya saya agak malas membaca yang panjang-panjang di blog mbak, makanya saya sarankan dibuatkan beberapa part untuk cerita ini.. :)

      Hapus
    4. udah terlanjur mas Andro... yang kedepan saja nanti ga panjang2 dehh..

      Hapus
    5. iya benar mbak, kalo dibuat satu seri aja berasa ujug2 mak bedunduk gitu. hehehe. tapi keren usahanya.
      semangat!

      Hapus
    6. mak bedunduk tuh sekonyong-konyong yaaak...
      Oke... oke... Makasih yaaaa...

      Hapus
  3. Kolaborasi yang apik nih, Mbak.
    Dua kepala membuat sebuah cerita yang utuh. :)
    Kasihan Si Artha... Yah, penyesalan selalu datang belakangan...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Buat cerpen ini eyel-eyelannya lumayan seru mbak Akin...
      Saya mau gini, mas Insan mau gitu... akhirnya ya jadinya begitu itu.

      Hapus
    2. yang penting nekad dulu ya mbak Niken..

      Hapus
    3. Yang penting nulis dulu mas Insan.. :p

      Hapus
    4. biar bisa nulis kalau gak nekad mana bisa...#tetep ngeyel

      Hapus
  4. Duet ciamik aehingga hasilnya juga asyik
    Mau belajar nulis cerpen ach
    Salam hangat dari Surabaya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Buat cerpen ternyata susah pakde... buat saya ini sih...

      Duet kali ini lebih susah dr pada yang sudah2... Imajinasinya berjalan sendiri2.

      Salam kembali.

      Hapus
    2. Tidak Sabar pengen baca cerpen karya Pakdhe..

      Hapus
  5. Sad ending ya bunda...
    Hiksss
    #ambiltissue

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mau dibikin happy juga bisa kok mbak Sri... hehehe....

      Hapus
    2. Dibagi duit dong Yanti biar happy ending..
      hehehehe... dasar mata duitan..

      Hapus
    3. huusss... jangan malu-maluin dong mas Insan...

      Hapus
  6. lanjutannya mbak. sayang kalau berhenti sampai disini aja :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. diterusin...?
      Usul yang baik...
      #ngaso dulu eyel-eyelannya.

      Hapus
    2. Ngaso sambil makan baso...
      setelah kenyang eyel-eyelan lagi... wkwkwkwk

      Hapus
    3. ngga mau bakso aahh.. tahu tek ajaah...
      #tuh kan eyel2an...

      Hapus
  7. keren kalian berdua, ayo bikin buku duet saja deh :)

    Salut sama Arta, begitulah seharusnya perempuan, berani berkata jujur ttg perasaannya. Dan buat Sonny, kalau masih cinta kenapa tak kembali. Tapi lebih baik cari yg gadis deh :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. pengen tuh kang Haris bikin buku duet kek trio kek...

      Sonny nya masih galau Kang... masih merasa rindu dan dendam jadi satu...

      Hapus
    2. hayoo kang Haris.. advise nya mana nih..??

      Hapus
  8. mantab surantab. Apakah hati Sonny akan luluh setelah melalui pertarungan hati ?. Saya merasakan iya, dan design itu bukan hanya untuk Arta, tapi dibangun untuk mereka berdua eh berempat ding.

    BalasHapus
    Balasan
    1. waaahhhh... makin mantap tuh kalau jadi begitu endingnya... happy ever after ya mas Djangkies...

      Hapus
    2. wah mas Djangkies ternyata sudah berimaginasi juga...

      Hapus
  9. Si Belo

    Aeehh... kapan ya bisa nulis duet bareng bunda :D

    kasihan Sonny, tapi mungkin emang blom jodoh ye ame Artha :) TOP ceritanya ^_^

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ayo Naya... mau kok bunda nulis bareng Nay...
      Betawi mode on juga boleh.. wkwkwk... tapi tokoh laki2nya jangan Vino yaa...

      Hapus
    2. si Belo Naya muncul...
      ngumpet dimane aje nih..

      Hapus
  10. weis... mantab nih duetnya, dalam puisi oke dalam fiksi apalagi..... lanjutkan! :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. waahh... komennya jangan cuma mantap gitu dong mbak Al... kasih suggest apa gitu... aku ngga sepuas buat puisi kemaren sama hasilnya.

      Hapus
    2. Lagi sakit gigi kali mbak NIken

      Hapus
    3. kasih kerak telor kayaknya sembuh tuh mas Budhi

      Hapus
  11. jempol buat mbak niken dan mas insan.. apik ceritanya..

    ayo lanjutin, dibikin bersambung :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Banyak juga nih yang menyarankan bersambung...

      #gimana nih mas Insan...?

      Hapus
    2. Siapa takut...
      #teriak2 panggil tukang las...

      Hapus
    3. bener di bikin kayak sinetron aja nanti ada sambungan sampai ke berapa berapa gtuh

      Hapus
    4. @Mas Opick: ntar jadi kayak tersandung 1 sampai 10 ya...
      #Capeee deeehh...

      @Mas Budhi Machida: pijem las nya Devon ajah...

      Hapus
  12. jadi, Arta itu mbak Niken, dan Sonny itu Om Insan Ya..?
    hehehe,,,

    ngaco banget..
    bagus mbak, endingnya cihuiii.. :)

    kapan yaa aku bisa bikin cerpen, lalalalala

    BalasHapus
    Balasan
    1. #Lempar Noorma dengan segebok uang monopoli biar gak ribut dan ngaco

      Hapus
    2. Jiaaahhh.... Noorma imajinasinya terlalu bebas...
      Apa ngga sadar kalau cerita itu mengambil kisahmu sama Aby...
      #makin ngaco...!

      Hapus
    3. waalaahh.....................

      om insan. ogah kalo uang monopolii.. :p

      mbak Niken bisa ajaaa :) hahaha

      Hapus
    4. mbak Niken memang bisa ajaa ngarangnyaa... wkwkwk...

      Hapus
  13. Bunda, Ditunggu seri selanjutnya y :D

    BalasHapus
  14. jadi inget cinta pertama #ah,salah fokus

    btw, kisahnya keren...bahasanya juga bikin luluh di sanubari hati, merasuk ke dalam relung hati, menyelisip dan menggetarkan memori lama yang telah terkubur #waduh, kok inget lagi cinta pertama sih

    BalasHapus
    Balasan
    1. waduh.. ngga tanggung jawab saya mas... lha kok ada yang bangkit dari kubur segala... serem...

      Hapus
  15. bagus ceritanya mba niken dan mas insan.. :)
    klo soal penilaian sih saya gak ahli mba..hehehe
    nulis ya nulis aja.. :D
    yg penting ada jln cerita yg jelas.. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah kalau bisa diterima... :)
      Trimakasih mbak Tita...

      Hapus
    2. kalau sdh diterima jgn lupa ongkos kirimnya

      Hapus
  16. bunda lagi seneng senengnya nih berduet maut sama akang insan robbani, hehehe

    kalo saya sih ampun bunda kalo disuruh buat cerpen, bener2 gak ada imajinasi, hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sedang mengasah kemampuan dan mencoba tantangan nih Imam... #gayane sok spektakuler aja yaa...

      Hapus
    2. Siapa tau saya juga Spektakuler alias spekulasi tapi laku dan populer

      Hapus
  17. mba Niken yang nulis cerita, knp jadi aku yg melayang ya?

    itu tandanya ceritanya bagus:)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Eaaa.... jangan ngapung dong mbak Sri... #tarik turun

      Cerpennya bagus..? Alhamdulillah...
      Makasih yaaa mbaakk...

      Hapus
  18. wah permulaan duet yg bagus nih, ceritanya ngalir tapi saya ngerasa endingnya kurang nendang..hihi ini cuna pendapat saya selaku pembaca yg bukan ahlinya cerpen, tapi tetep keren bunda :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya mbak Rahma... memang ga ada adegan nendangnya.... wkwkwk....
      maklum mbak masih belajar... bikin endingnya rada bingung...

      makasih ya...

      Hapus
  19. udaaahh Artha sm Sony jadian aja laaaahh *kok sy yg ngatur :D

    BalasHapus
  20. Critenye mantab tuh, tapi kenape ye aye bacanye kayak di-udag-udag ame orang, ke-buru-buru gituuuu..... Se-7 ame Mas andro Bhaskara tuh -- nape gak dijadiin berseri aje tuh cerita nyang asyik inti ceritenye. Gimane bang Robbani ame mpok Niken? Buat ente bedue coba dibaca lagi deh, keknye ade yang janggal dikiit doank. Hayooo....ape coba, heheheheh....koq aye jadi ketularan Si Belo sih ye? Nyoook.......dicoba novel bareng, pasti jadinye bagus tuh kolaborasinye. Maju teruuus.......

    BalasHapus
    Balasan
    1. Komen bunda Yati mantab habis daah...
      Maklum bunda... namenye juga nyatuin 2 isi kepale... rade susahan gitu... Tapi kite berdue ude niatan mau bikin terusannye.
      Novel...?? Ajib juge tuh kalau bise terjadi...
      #begimane bang Insa Robbani...? Novel katenye...

      Hapus
  21. wew, kisah cinta yang membingungkan ... #ane sih yg bingung :P
    dendam campur sayang! jadinya apa ya ... #gelenggelenggarukgaruk

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe... ga jelas yaaa... Sonny memang lagi galau tuuh..
      Jangan keras2 garuknya... tuh ketomber berserakan... :)

      Hapus
  22. Saranku, perhatikan tanda baca. Jangan memboroskan kalimat. Cerita ini jadi panjang karena pemborosan kata dan kalimat di sana sini. But sekali lagi idenya oke lah buat sebuah cerpen duet. Banyak berlatih saja, maaf kalau komennya nggak disuka :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. tanda baca... oke..
      Pemborosan kata dan kalimat bisa mohon dicontohkan yg mana mbak Titie...? Supaya saya bisa paham yg dimaksud pemborosan itu seperti apa.

      Makasih banget komennya.... Sukka koook.. beneran deeh...

      Hapus
  23. wah bundaaaa.... Kk @Insaann.... kereeen!!!
    membaca ini di sepertiga malam terakhir jadi khusyuk, ^_^

    rasanya kok kayak gado-gado, asam-manis-pedas-asin... hihi.
    kisah lama bersemi kembali*
    sedikit ajah masukannya bukan masalah isi tapi pengetikannya bun.. masih ada kata yang salah ketik, seperti: terdengar jd terdengan>> senang jdnya seang>>> hehe.. gitu aja Kak, bun..

    *salam buat artha dan sonny: pengen liat hasil desainer nya :D :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sepertiga malam makan gado-gado... kurang pas kali yaa...
      Tapi komen Liyan bikin melambung niih.. Makasih yaaa...

      Mengenai typo2 itu memang keteledoran... padahal udah di cek sebelum publish, tp tetep aja ada yang salah...

      Nantikan kolaborasi kami selanjutnya... hehehe...
      Desainnya belum jadi tuh Liyan... Sonny nya masih galau... qiqiqi...

      Hapus
  24. Menyatukan dua isi kepala memang GÉ‘̤̈ mudah, tapi kayaknya yang ini berhasil dengan baik setelah 'eyel-eyelan' yang rumit .... :D

    *** ndepipis nunggu lanjutannya

    BalasHapus
    Balasan
    1. yang ini berhasil baik... semoga yang berikutnya bernasib sama.

      Hapus