"Nggak mau ah...! Saya ngga mau ikut-ikutan begitu."
"Tapi itu kan sudah umum, mbak Sinta. Semua orang disini juga melakukan itu."
"Saya ngga mau. Saya takut sama Allah."
"Ya sudah, terserah. Tadi kan mbak Sinta cerita kalau keadaan sekarang beda dengan dulu. Saya cuma kasih jalan keluar saja. Kalau pendapat saya sih selama kita tidak menjahati orang lain, ya ngga apa-apa."
"Memangnya bu Mus juga pakai ya...?"
"Iya dong... ngga kuat saya kalau enggak. Yang lain pada sadis-sadis sih mbak... Saya pakai buat tolak bala aja, sekalian buat penglaris!"
Aku tersenyum miris mendengarnya. Dan obrolan aku sudahi dengan beralasan hendak beres-beres. Segera bangkit meninggalkan bu Mus yang sepertinya masih antusias ingin bercerita tentang usahanya itu. Percuma juga aku jelaskan alasan-alasan mengapa hal itu tidak boleh dilakukan. Kutetapkan dalam hati bahwa aku tidak akan meniru perbuatannya apapun yang terjadi. Dalam hati aku memanjatkan doa agar dijauhkan dari segala perbuatan syirik itu.
Pagi masih terasa dingin. Mentari masih menunggu tugasnya untuk menggantikan bulan. Kubuka pintu warungku agar udara segar masuk ke dalam warung. Di seberang jalan tampak bu Mus sedang melakukan sesuatu di depan warungnya. Ditebarnya beras ketan putih di depan warungnya, kemudian aku lihat bu Mus berjalan mondar mandir beberapa putaran sambil mulutnya komat kamit melafalkan sesuatu. Setelah itu barulah dia menyapu beras ketan yang ditebarnya itu dan dikumpulkan di salah satu pojok luar warungnya.
Bu Mus terlalu asyik dengan yang dikerjakannya sehingga tak melihat bahwa aku memperhatikannya. Aku terdiam menyaksikan ritual yang mengotori pagi itu. Rupanya itulah yang dimaksudnya kemaren. Pulang kampung untuk mencari "obat" buat warungnya yang belakangan sepi.
"Saya habis pulang kampung mbak, cari obat buat warung. Belakangan sepi banget. Kayaknya obat yang dulu udah nggak manjur," tanpa malu-malu bu Mus mengakuinya.
Aku lanjutkan pekerjaanku dan aku mencoba melupakan apa yang aku saksikan pagi itu. Urusan sendiri sendirilah. Yang penting aku tetap yakin pada pendirianku. Apa yang bu Mus sarankan padaku bukanlah yang pertama aku dengar. Banyak masukan yang menganggap wajar mencari tameng, tolak bala, penglaris, obat, dan entah apa lagi namanya. Kok ngga pada takut sama Allah ya...?
*
Hari minggu warung tutup. Waktunya bersama keluarga seharian. Pagi itu aku sedang menyiapkan sarapan untuk keluargaku. Tiba-tiba terdengar suara Hendro, pegawai warungku berteriak memanggilku.
"Ibu... cepat kesini bu... ! Lihat ke depan sini!" ada nada panik pada intonasinya.
Segera aku mendatangi Hendro yang berada di depan warung. Dan sesaat berikutnya aku terhenyak menyaksikan apa yang ada di depan pintu dan halaman warung. Astaghfirullah... banyak sekali berserakan serpihan lembut batu bata merah, garam dan helaian-helaian ijuk hitam. Ulah siapa ini...? Apa maksudnya...?
"Ambil sapu, Ndro. Bersihkan dan buang saja."
"Tapi.. apa tidak sebaiknya dido'akan dulu bu...? Jangan langsung buang. Nanti ada apa-apa gimana..?" Hendro tampak gusar sekali.
"Nggak... Langsung buang saja. Insya Allah tidak terjadi apa-apa. Kita tidak usah percaya bahwa ini semua akan mempengaruhi usaha kita. Yakin dan percaya kalau rejeki itu dari Allah, bukan dari pelaku perbuatan ini."
"Duuh.. kok ada sih yang iseng begini sama kita bu."
"Ndro, ini cobaan keimanan. Apakah kita goyah dan ikut-ikutan perbuatan mereka. Kita cari rejeki yang halal dan kekal nilainya. Yang bisa bawa keberkahan buat hidup kita."
*
Bu Mus mendatangiku saat aku sedang memotong-motong sayuran. Matanya sembab. Sepertinya habis menangis lama. Duduk tepat di depanku tanpa suara. Wajahnya sedih sekali.
"Ada apa bu Mus...? Kok kayaknya kusut banget.""Iya nih mbak Sinta. Saya lagi sedih mikirin anak saya."
"Kenapa anaknya?"
"Sudah seminggu ini mendadak lumpuh, ngga bisa berdiri. Kakinya kayak ngga ada tulangnya. Makin lama makin parah saja"
"Lho... kok bisa begitu? Sakit apa dia?"
"Mbak Sinta... ini salah saya. Sepertinya ini hukuman buat saya."
"Maksud ibu Mus apa?"
"Penglaris yang waktu itu, kan ada syaratnya mbak. Saya harus menerima kalau sewaktu-waktu saya akan kehilangan apa yang menjadi kesayangan saya."
"Astaghfirullah ibu... Kok ibu menyanggupi syarat seperti itu?"
"Saya tidak berpikir bahwa itu juga termasuk anak saya."
"Anak ibu sudah dibawa ke dokter? Barangkali memang ada penyakit apa gitu."
"Nggak ah mbak... saya mau cari orang yang lebih pinter lagi aja buat nandingin yang kemaren. Yang kemaren kebanyakan syaratnya. Saya udah dapat alamatnya mbak. Tinggalnya di sebelah kampung saya. Saya besok mau ke sana."
Sekali lagi kutinggalkan bu Mus saat dia masih semangat bercerita tentang rencananya itu. Dapur sudah menungguku dengan setumpuk pekerjaan.
***
Hallo bunda Lahfy, bagus fiksinya. Ini beneran ya bunda?. :). Bunda ijin blogroll ya? Terima kasih :).
BalasHapusHalo juga Nilam...
HapusMengangkat realitas yang terjadi di lingkungan bunda.
Wah silahkan di blogroll. Asyiiik...
Hingga saat ini masih banyak orang yang mencari sesuatu untuk mendapatkan keuntungan.
BalasHapusNo free lunch. Jangan berkolaborasi dengan jin atau setan karena mereka pasti minta sesuatu bagi siapa saja yang meminta sesuatu darinya.
Semoga tak lama lagi ada sinetron dengan kredit titel : " Sinetron ini diangkat dari cerpen Tumbal karya Niken Kusmowardhani "
Salam sayang selalu
Begitulah kenyataannya pakde... di kanan kiri saya banyak sekali yang melakukan ini.
HapusSinetronnya sepertinya sudah menemukan bintang utamanya nihh.. wkwkwk...
jaelah...
BalasHapusmasih percaya sama org pinterrr....
fiksi pertama dah keren gini :D
Alhamdulillah dibilang keren...
HapusTrimakasih ya Jiah...
Betul kata bunda, semua kembali pada Allah ...
BalasHapusyang terpenting kita seperti mereka,cobaan keimanan untuk kita.
Sukses untuk fiksinya ...
Ralat komen bunda, boleh kan ?
HapusBetul kata bunda, semua kembali pada Allah ...
yang terpenting kita tidak menjadi seperti mereka,ini cobaan keimanan untuk kita.
Sukses untuk fiksinya ...
Hehehe... yang pertama buru2 ya ngetiknya...
HapusMakasih mas Misbach... semoga iman tetap dikuatkan.
nikmat bu.. tiba - tiba sudah mulai klimaks, dikahiri tanpa klimaks.. :)
BalasHapussilahkan di klimakskan sendiri mas... :)
Hapusmenarik :D
BalasHapusga ikut hajatan postcardfiction mbak? :D
Trimakasih...
HapusPengen ikutan mbak... pemanasan dulu... maklum blm biasa buat fiksi
Endingnya diserahkan kepada pembaca apakah memilih sad atau happy ending. Ciamik
BalasHapusWah ada pengamat fiksi kemari...
HapusKalau pakde... (ketauan juga khan...) mau sad atau happy...?
bangunan cerita telah dibangun dengan baik, termasuk di antaranya dengan dialog yang memikat, duh... betapa ia terjerembab di sebuah lubang dan ingin mencari lubang yang lainnya untuk menjerembankan diri...
BalasHapusMakin banyak lubang yang ingin dia gali ya pak... kali lain mungkin bahkan dirinya sendiri jadi tumbal.
HapusMembaca tulisan ini sempat bertanya-tanya siap bu Sinta itu, sampai akhirnya tersadar kalau ini sebuah fiksi perdana dari mbak Niken
BalasHapusYa ampuuun... pakai nama ini..
HapusOke... saya anggap sanjungan saja deh... wkwkwkwk...
Saya sedang belajar kok mas.... ada yang ngajari lho...
berarti yang ngajari mbah guruku ya mbak
Hapusemang dia udah embah-embah ya....?
HapusAstagfirullah.... di tengah jaman yang semakin modern ini, ternyata masih ada hal-hal seperti itu ya Bun. Semoga kita semua terhindar dari perbuatan syirik dan terlindung darinya. Amiin
BalasHapusMasih banyak mbak Mira... Ini sudah dianggap wajar. Miris ya mbak....
HapusWaduuh, hari gini masih percaya yang gituan ya, Bund.
BalasHapusSemoga ini benar2 hanya ada di fiski. hihihi
Salam untuk mbak nikeh, eh maksud saya mbak sinta. Dan untuk Bu Mus, segeralah bertaubat. :D
Ini fiksi tapi diangkat dari peristiwa yang ada disekitar bunda...
Hapuskeren :) salam kenal
BalasHapusTrimakasih...
Hapussalam kenal kembali.
mantabs jeng niken saking kepanjangan artikel males membacanya nih
BalasHapuspanjang..?
Hapuscara menyampaikan ceritanya apik
BalasHapusyg bersih-bersih aja deh kita mah :)
Trimakasih Kang Haris...
HapusInsya Allah yang bersih-bersih aja kita yang Kang... Biar berkah.
ini katanya hasil belajar. hasil belajar aja sudah keren gini. gak sabaran nunggu yang selanjutnya... :)
BalasHapuslhooo... kalau ngga belajar ya nggak kayak gini thooo...
Hapuswah... mantabs Bun, ceritanya bnr2 hidup, jd terbawa ama suasana alurnya yg seru...
BalasHapusAlhamdulillah...
Hapussemangat...semangat....
Makasih mbak Mel...
Hal seperti ini masih banyak di sekitar kita.. Naudzu billahi minzalik...
BalasHapusBanyak sekali... macam saja modelnya...
Hapusbelum sempat baca sekarang Bun, saya simpan sebagai word aja, ni lagi di warnet.. tar di baca dikamar aja...
BalasHapuswahhhh... makasih Kiki nyempetin simpen di word segala...
Hapus:)
Narasinya mgk fiksi, tapi inti ceritanya merupakan cerminan realitas yg masih jamak terjadi di sekitar dan masyarakat kita ya Mbak
BalasHapusIya mbak Rie... hal seperti itu masih amat kental mewarnai dunia bisnis di masyarakat.
Hapusbagus banget bund fiksinya....*ada lanjutannya kan bund...hihihi
BalasHapuspenasaran endingnya sperti apa :)
Yaahhh... sayangnya ini bukan cerbung...
Hapusendingnya diterusin sendiri ajaaah.. bebas kok... hehehe...
percaya ndak percaya yaa bund kalau jaman sekarang masih ada ajah yang pake begitu2an yaa, padahal kan jelas2 barang siapa yang menyekutukan allah itu syirik namanya, naudubillamindalik :D
BalasHapusBunda niken cerpennya apik tenan :D
Dan syirik adalah dosa yang tidak dimaafkan oleh Allah. Kegidupan dunia terlalu menggoda sepertinya.
HapusMakasih Niar... kangen Niar niihh.. lama ga muncul.
nice story mbak ^^
BalasHapustrimakasih Diah... :)
Hapusceritanya bagus mbak ...
BalasHapusmemang masih banyak yang seperti itu ...
Alhamdulillah kalau ceritanya bagus...
HapusMakasih yaaa...
Lho, saya jg orang pintar lho, tp gak buka praktek :d
BalasHapusOiya, cepetan kedapur deh mba, blm nyarap neh ... Hehehe
Orang pinter minum **lak *ngin.... hehehe....
HapusYuk ah masak dulu...
Ditanding ama saya ajalah Wakakkkaakk
BalasHapusemang situ dukun ya...? hihihi
HapusWah..gak pd berarti yah pake obat segala tuh orang :)
BalasHapusbukan masalah pd ini sih... godaan duniawi..
Hapusdulu sering baca soal pesugihan di majalah Liberty ternyata masih banyak yang pake ya :)
BalasHapusMasih banyak mbak...
HapusAda disekitar kita.
hedeeehhh... tak bisa dipungkiri di masyarakat kita memang maish kental kepercayaan seperti ini ya Bun, harus menguatkan iman..
BalasHapusMalah kalau yang dikasih tau bilang ngga mau... katanya sok-sok'an...
HapusSi Belo
BalasHapusInnalillahi, masih ada aja orang yang percaya begitu *geleng2 kepala* Keren ceritanya Bunda :) miss yuu
Miis u to Belo... Apa kegiatan sekarang....?
Hapusfiksi tapi banyak kejadian didunia nyata ya mbak. termasuk kedalam musryik ya. Asstagfirullah
BalasHapusTemanya sangat kental didunia bisnis.
HapusJika cerita di atas fiksi, tapi sejatinya masih banyak peristiwa nyata seperti mbak tulis di atas, terutama di sekitar lingkungan kita sendiri. salam:)
BalasHapusCerita diatas adalah fiksi yang berdasarkan kisah nyata yang terjadi di sekitar tempat saya bekerja.
HapusSalam kembali.
Dulu waktu masih tinggal di Medan, yang adalah kota besar, sekelilingku juga masih banyak banget melakukan dan menggunakan ritual-ritual seperti itu mba, bahkan pernah lihat langsung seorang teman yang tiba-tiba, di suatu pagi, mengalami kelumpuhan, ga bisa turun dari bednya. Anehnya, pihak keluarga bukannya membawanya ke dokter, tapi malah mengundang paranormal untuk mengobatinya.
BalasHapusDan realita seperti ini, masih begitu lekat tumbuh subur di sekeliling kita ya mba.... dan sulit banget menumpasnya.
Justru persaingan hidup di kota besarlah sebagai salah satu pemicunya mbak Al... semakin banyaknya pesaing bisnis membuat mrk melakukan hal itu.
HapusNyatanya bkn hanya untuk hal bisnis "paranormal" berperan dalam pemecahan masalah. Dimana hal itu hanya semakin membuat terpuruknya keimanan.
heran yak bun, jaman sekarang masih ada aja yang percaya sama hal2 kek gitu. semoga qt terhindar dari kemusyrikan sekecil dan sesedrhanan apapun itu. aamiin
BalasHapusMungkin kita tidak perlu heran mbak Rima... karena kesyirikan itu adalah bagaikan semut hitam, berjalan diatas batu hitan digelapnya malam.
Hapussetuju a, mendingan ngurusin dapur yg berantakan drpd main tumbal2an :)
BalasHapusHahaha... biar kata warung tutup karena kurang pelanggan, tetap tdk akan tergoda memakai kayak begituan. Pasti Allah akan membukakan pintu rizkiNya
HapusFiksinya nyata banget.. bagus, bun :)
BalasHapusMakasih mbak Leyla... :)
Hapusikutan gabung, salam kenal sukses selalu :)
BalasHapustrimakasih sdh bergabung.
HapusSalam kenal kembali
Wah... trimakasih masukannya mas Ayas... saya suka kok dikritisi seperti itu.
BalasHapushari gini msh percaya gituan,,, t-e-r-l-a-l-u!!!!!
BalasHapussalam bunda,,, suka ceritanya...
memang terlalu ya... ini komen kesimpen lama di spam baru ketahuan... hehehe
HapusAstagfirullah..
BalasHapusnaudubilahimin dzalik..
tp memang hal sprt itu ada di sekitar kita ya mb..
salam kangeeennnn mb nikeennnn... *peluukkk :))
Begitulah mbak Enny... masih banyak yang menggunakannya.
HapusSalam kangeeeeeen jugaaa... #peluk...
bagus sekali bu kisahnya
BalasHapus