Cerita tentang under estimate yang mereview blognya pakde kemaren mengingatkan aku pada tulisan yang pernah aku share, yaitu mengenai Challenge Untuk Luthfan. Karena cara yang aku pakai untuk menumbuhkan rasa percaya diri pada anakku Astri sudah terlebih dahulu aku praktekkan untuk si sulung Luthfan. Beginilah ceritanya....
Once upon a time.....
Luthfan pulang dari Taman Bermain dengan wajah sedih dan lesu. Sejak keluar kelas aku perhatikan dia seperti tidak semangat. Biasanya dia akan minta jajan sesuatu dulu di luar Taman Bermainnya. Tapi hari itu Luthfan berjalan gontai dalam gandenganku. Kami berjalan kaki pulang sebab lokasi Taman Bermain dan rumah kami tidaklah jauh. Sepanjang perjalanan aku mencoba mengajaknya berbincang dengan menanyakan kegiatannya hari itu. Tapi Luthfan hanya menjawab dengan jawaban pendek-pendek tak bersemangat. Hatiku menerka-nerka gerangan apa yang terjadi pada anakku hari ini. Mengapa Luthfan tidak seperti biasanya, ceria, banyak tanya, bahkan kadang ‘rewel’ minta mainan atau jajanan sepulang dari Taman Bermain. Tapi aku menahan diri untuk tidak menanyakan kepada anakku itu sepanjang perjalanan. “Nantilah dirumah,” begitu batinku. Maka aku eratkan gandenganku pada tangannya menuju ke rumah, mengisyaratkan padanya bahwa bunda selalu ada untuknya.
Setelah membersihkan badan dan berganti pakaian, biasanya Luthfan akan asyik dengan mainannya. Tapi hari itu memang berbeda. Dia memilih untuk berbaring di kamarnya. Maka akupun mendekatinya seraya membawa segelas susu untuknya. Luthfan meminum habis susunya. Dan mulailah aku menuangkan rasa ingin tahuku akan sikapnya hari itu.
“Luthfan sakit, nak...?” aku bertanya
“Engga, bunda,” jawabnya lirih
“Kok, hari ini kayaknya jagoan mama lemes banget. Biasanya ceritanya seru kalau pulang sekolah, ada apa nak? Cerita dong sama bunda.”
Luthfan seperti enggan bicara. Aku usap-usap rambut dan wajahnya. Aku suka sekali melakukan itu sebagai ekspresiku untuk menenangkan dia.
“Nggak ada apa-apa kok bunda,” katanya malas.
“Hei... kok sekarang main rahasia-rahasiaan sih sayang. Bunda sedih ah... kalau mas Luthfan sekarang nggak mau cerita-cerita lagi sama bunda. Ayo dong sayang... jangan lemes gitu, cerita sama bunda ada apa tadi di sekolah.”
“Aku nggak main rahasia-rahasiaan kok sama bunda,” ujar Luthfan sambil merubah posisi berbaringnya menjadi menghadap padaku. Aku yakin sekarang kalau dia akan mulai bercerita. Terlihat dari bahasa tubuhnya.
“Bunda, tadi di sekolah teman-temanku pada cerita tentang mainan Play Station. Kiki, Fauzan, Bagus, Reza, Dimas, Setyo, dan Lukman, udah punya bun... Teman-teman ceritanya seru banget. Katanya besok mereka mau tuker-tukeran kaset play station. Aku kan nggak ngerti, jadi aku tanya aja sama mereka apa itu play station, gimana mainnya, kok pakai kaset segala. Tapi bukannya dijawab, aku malah diketawain sama mereka. Kata mereka aku kuno, payah ngga punya play station. Malah mereka terus ninggalin aku sambil ketawa-ketawa. Aku kan sedih bun. Pengen nangis tapi malu sama teman-teman, ntar aku tambah diledek kalau nangis. Play station itu mainan kayak apa sih bun?” Luthfan menuturkan dengan wajah cemberut.
Ooo.... jadi itu masalahnya. Problem klasik anak-anak. Olok-olok soal punya tidak punya mainan. Tapi aku tetap tidak boleh meremehkan perasaan Luthfan. Bagaimanapun sederhananya masalah ini buat kita, tapi buat anak seumuran Luthfan hal ini sudah menyangkut harga dirinya. Maka aku jelaskan seperti apa PS itu dan cara memainkannya. Dan dari wajah Luthfan makin tersirat rasa penasaran yang dalam. Maka akhirnya terlontar keinginannya untuk memiliki PS itu. Luthfan minta dibelikan PS... Nah lho...! Sebetulnya aku dan ayahnya pernah terpikir untuk membelikan Luthfan play station. Tapi kami khawatir Luthfan jadi lupa waktu dan terlalu asyik dengan mainan itu. Jadi sulit bersosialisasi dengan teman-temannya. Makanya kami urung membelikan. Tapi sekarang malah Luthfan yang minta dibelikan. Luthfan memang tidak menangis merengek waktu memintanya. Biasalah.... seorang bunda sering tidak kuat melihat anaknya sedih.
Malamnya aku bicarakan hal ini dengan ayahnya. Ternyata ayahnya setuju membelikan play stasion, tapi dengan beberapa catatan. Luthfan hanya boleh main PS hari sabtu dan minggu, dan untuk mendapatkan PS itu Luthfan harus mengumpulkan poin. Poin...? Poin apa? Begini... Kami sedang ingin menumbuhkan kemandirian dan tanggung jawab Luthfan, memperbaiki cara makannya yang sulit, bangun paginya yang susah, dan beberapa kebiasaan buruk lainnya. Maka kami buat semacam chalenge untuk Luthfan. Dia harus mengumpulkan 50 poin kebaikan. Seperti kalau makan habis dapat 1 poin, bangun pagi gampang/tidak rewel dapat 1 poin, mandi tidak terlalu sore dapat 1 poin, tiap pagi bangun tidur membuka jendela kamar sendiri dapat 1 poin, meletakkan sepatu sekolah pada tempatnya dapat 1 poin, membereskan kembali mainan 1 poin, dan beberapa hal lainnya. Dengan harapan hal itu akan menjadi kebiasaan dan merubahnya menjadi anak yang lebih mandiri dan bertanggung jawab. Juga mengajarkan Luthfan bahwa memperoleh sesuatu itu harus dengan usaha.
Luthfan setuju dengan chalenge ini. Sepertinya niatnya untuk mendapatkan PS sudah kuat. Dan hari demi hari dia jalankan dengan baik. Poin demi poin dia lewati. Tidak selalu dapat poin memang. Tapi dia tetap semangat mengumpulkan poinnya. Kadang masih perlu diingatkan, tapi akhirnya perlahan-lahan dia memenuhi ke 50 poin yang disepakati. Semangatnya selalu terpancar tiap aku menandai lembar poin yang ditempel di dinding kulkas. Berteriak-teriak girang tiap dia menghitung jumlah poin yang terus bertambah. Hari-hari dilalui Luthfan dengan semangat. Dia tak perduli lagi dengan ejekan teman-temannya. Toh dia sebentar lagi juga akan memiliki mainan yang sama seperti mereka. Mungkin itu batin Luthfan. Kadang poin makan habis masih suka terlewat sebab yang ini memang hal yang paling sulit buat Luthfan. Dia memang susah sekali kalau soal makan. Banyak cara dan siasat sudah sering aku lakukan untuk menumbuhkan selera makannya. Dari membeli vitamin, atau bahkan berkonsultasi ke ahli gizipun sudah. Luthfan tetap saja susah kalau soal makan. Tapi sejak mengumpulkan poin aku lihat dia berusaha untuk makan dengan baik. Biarlah sesekali lewat. Yang penting dia tahu bahwa hal itu perlu diperbaiki untuk keperluan dia sendiri.
Akhirnya ke 50 poin itu berhasil dikumpulkan Luthfan. Teriakan kemenangan membahana di dalam rumah saat poin terakhir aku tambahkan pada lembar poinnya.
“Horeeee...!! Udah Pas 50...!! Asyik... Asyik... PS...PS... !” sambil berjoged-joged Luthfan mengungkapkan kebahagiaannya.
Aku berikan pelukan dan ciuman, tak lupa pujian mengapresiasi usaha Luthfan. Aku pun merasa bahagia, ternyata Luthfan mampu menahan diri untuk sampai pada hari ini. Mampu menunda keinginannya. Memperjuangkan mainan impiannya. Secara tidak langsung aku dan ayahnya sudah mengajarkan Luthfan bahwa dia harus mempunyai impian, dan berusaha untuk mewujudkan impiannya itu. Umurnya baru 4 tahun waktu itu. Tapi Luthfan sudah mengerti bahwa peribahasa “bersusah-susah dahulu bersenang-senang kemudian” adalah benar adanya.
Sejak itu program mengumpulkan poin terus berlanjut apabila Luthfan menginginkan mainan yang harganya agak mahal. Dan mainan-mainan yang diperolehnya dengan perjuangan mengumpulkan poin, selalu dirawatnya dengan baik. Beberapa dipajangnya sendiri di kamarnya. Awet. Apik. (sampai bisa dimainkan oleh adik-adiknya). Dan poin-poin itu berdampak baik buat kepribadian Luthfan. Walau Luthfan tetaplah anak-anak yang kadang rewel, dan ‘nakal’, tapi banyak sekali perubahan sikap dan tanggung jawab yang tumbuh akhirnya. Bahkan Luthfan akhirnya berani tidur sendiri di kamarnya. Dan mengumpulkan poin demi poin akhirnya menjadi keasyikan buat Luthfan dan kemudahan buat kami untuk mengajarkan sesuatu padanya. Luthfan bahkan sering menantang dengan jumlah poin yang lebih banyak. Dan dikerjakannya dengan tuntas.
Itu Luthfan waktu berumur 4-5 tahun. Anak pertamaku itu sekarang sudah remaja. Sudah berumur 16 tahun. Bagaimana Luthfan sekarang...? Dia sudah tidak perlu lagi mengumpulkan poin. Alhamdulillah... kebiasaan mengumpulkan poin berubah menjadi kesenangannya menabung. Luthfan selalu menyisihkan uang jajannya walau sedang tidak ingin membeli apa-apa. Hanya menabung. Dia yakin akan bermanfaat suat saat. Sekarang Luthfan sering membeli kebutuhannya dengan uang tabungannya. Tidak meminta kami, orangtuanya lagi. Seperti membeli sepatu yang dibelinya tanpa meminta uang pada kami sepeserpun. Membeli T Shirt idamannya dengan uang tabungannya. Menabung sudah menjadi jiwanya. Uang jajan selalu disisihkannya sebagian. Tak pernah lagi kami mengingatkan atau menyuruh-nyuruh Luthfan melakukannya.
Tidak hanya itu, sampai saat ini dia masih terbiasa merawat apik barang-barang pribadinya. Bisa lebih memahami bahwa segala sesuatu yang di dapat dengan usaha dan pengorbanan akan lebih terasa nikmat dan kepuasannya pada saat memperolehnya. Luthfan seperti tahu apa yang harus dia minta kepada orang tuanya, dan apa yang harus diusahakannya sendiri. Hal lain lagi, Luthfan terbiasa membuat afirmasi sebuah impian/keinginannya. Membuat tulisan lalu ditempelkan di beberapa bagian rumah terutama kamarnya. Misalnya waktu dia mau UAN (Ujian Akhir Nasional) SMP, dia menulis target nilainya di dinding kamar. Berusaha untuk mencapai target itu. Dan hasilnya luar biasa...! Tercapai..! Alhamdulillah. Lagi-lagi hanya ucapan syukur yang bisa aku panjatkan akan karunia ini.
Teruslah kau merajut mimpi, anakku. Gantungkanlah pada sudut-sudut bintang yang tinggi itu. Buatlah afirmasi-afirmasi lain dalam langkah-langkah hidupmu. Langkahkan kakimu ke arahnya. Hanya melangkah saja,nak... Melangkahlah menuju impianmu. Suatu saat, bunda yakin... akan kau raih impianmu. Doa bunda selalu menyertaimu. Anakku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar