Seorang bapak, mengayunkan kaki selangkah demi selangkah meninggalkan kediamannya di Malang menuju Jakarta untuk menuntut keadilan kepada presiden atas kematian anaknya. Anaknya adalah korban tabrak lari dari seorang polisi pada tahun 1993. Dimana pada proses persidangan polisi itu terbebas dari jerat hukum. Sang bapak memprotes ketidak adilan yang dialaminya. Rasa cinta pada anaknya dan sakit hati atas ketidak adilan yang dialaminya, mendorongnya untuk menuntut keadilan itu kepada pihak terkait bahkan presiden, dengan berjalan kaki dari malang ke Jakarta. Namun kekecewaannya makin meninggi, sebab keadilan yang diharapkannya tak kunjung tiba. Maka akhirnya dia memutuskan untuk menuntut keadilan kepada Allah dengan berjalan kaki ke Mekah. Di Mekah dia akan menuntut keadilan Allah dan menceritakan sulitnya mencari ketidak adilan di Indonesia.
Sedih aku melihat berita ini. Tapi sedihku bukan karena mengagumi apa yang dilakukan sang bapak. Sedihku bukan karena aku seakan merasakan ketidak adilan yang dialaminya. Bukan itu. Tapi lebih karena menyayangkan kekerasan hati yang dimilikinya. Seakan tidak ikhlas atas kematian anaknya. Membawa dendam terhadap penabrak anaknya selama bertahun-tahun. Sepertinya dia baru akan puas kalau penabrak anaknya mendekam dipenjara. Mendendam yang begitu dalam, membuatnya menjadi hidup tidak tenang. Hari demi hari dilaluinya dengan rasa sakit hati. Merasa tertindas, dan harga dirinya tidak terima.
Innalillahi Wainnalillahi Rojiuun. Setiap yang bernyawa pasti akan mati. Bagaimanapun caranya. Entah karena penyakit, kecelakaan atau tiba-tiba tanpa sebab apa-apa. Kalau Allah sudah menakdirkan sampai seberapa umur kita, maka takkan ada yang bisa menghalanginya. Kecelakaan hebat atau penyakit parah sekalipun, kalau Allah belum menghendaki kematian kita maka takkan terjadi kematian itu. Jadi sebaiknya sang bapak mengikhlaskan kematian anaknya, mendoakan anaknya, dan soal penabrak lari itu, biarlah Allah yang menghukumnya. Penjara dunia bukan apa-apa dibandingkan azab Allah.
Menuntut keadilan kepada Allah? Apakah itu berarti sang bapak merasa Allah sudah berbuat tidak adil kepadanya? Dan berjalan kaki ke Mekah untuk menumpahkan ketidak adilan dan menceritakan tingkah polah pemimpin di Indonesia. Buatku ini lucu. Kenapa juga harus sampai ke Mekah kalau hanya untuk melakukan itu. Pada sajadah kita yang tidak lebar itupun bisa kita melakukannya. Pada tiap panjatan doa kita bisa kita lakukan itu. Pada kepasrahan kita pada Allah bisa kita tengadahkan apa yang menjadi harapan-harapan kita. Untuk apa ke Mekah apalagi berjalan kaki. Meninggalkan anak istri. Meninggalkan kewajiban sebagai suami, sebagai kepala rumah tangga. Jauh dari rumah dan keluarga dalam waktu yang lama, untuk sebuah tujuan yang 'aneh'. Lupa pada tugas seorang suami, Qu'anfusakum wa'ahlikum naro. Berbahaya lagi buat dirinya dan keluarganya seandainya apa yang diharapkannya di Mekah sana tidak segera terwujud. Apakah itu akan membuatnya merasa tak ada keadilan sama sekali buatnya. Dari Allah sekalipun. Astagfirullahal'aziim.... Padahal Allah menjawab do'a kita dengan bermacam cara, yang kadang tidak kita sadari kalau jawaban itu sudah datang. Berteriak meminta keadilan pada Allah tapi dia sendiri tidak berbuat adil untuk dirinya sendiri dan keluarganya.
Wahai bapak, semoga Allah melindungi langkahmu. Dan hidayahNya segera datang padamu. Agar hatimu tenang, agar dendam di hatimu hilang. Dan semoga Allah menerima amal dan ibadah anakmu, dilapangkan kuburnya. Aamiin.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar