Frangipani Flower Lovely Little Garden: Kejutan Ibu
There is a lovely little garden in a corner of my heart, where happy dreams are gathered to nevermore depart

Sabtu, 22 September 2012

Kejutan Ibu

Membaca tema kontes bunda Sumiyati mengenai kenangan hari raya Idul Fitri bersama keluarga, tak pelak mengingatkanku pada sebuah kenangan masa kanak-kanak dulu. Bercerita tentang Idul Fitri tentu tak lepas dengan cerita tentang bulan puasa Ramadhan. Apalagi pada masa kanak-kanak dulu, Idul Fitri adalah bagai kegembiraan yang tumpah ruah. Belum memikirkan apa makna Ramadhan dan apa arti Idul Fitri yang sebenarnya. Masa kanak-kanak dulu, menjalani semua itu dengan keseruan-keseruan tersendiri.

Bapakku dulu pernah bertugas di Pekanbaru Riau selama 6 tahun. Jadi dari SD kelas 3 sampai SMP kelas 2, aku sekolah di Pekanbaru. Dan kenangan masa kanak-kanak di sana sungguh luar biasa. Dan tentu termasuk kenangan Ramadhan dan Idul Fitrinya. 

Rumah kami berhadapan persis dengan mesjid. Jadi kala itu mesjid tidak saja sebagai tempat ibadah, tapi juga tempat bermain aku dan teman-temanku. Mesjid itu mempunyai halaman yang luas, dan banyak ditanami tanaman bunga. Kami sering bermain petak umpet di sana. Padahal di  rumah juga sebetulnya bisa, tapi entahlah aku dan teman-temanku senang sekali bermain di halaman mesjid itu. 

Pada bulan Ramadhan, setelah adzan Isya berkumandang, aku segera berlari menyeberang jalan membawa mukena dan sajadahku. mencari tempat untukku dan untuk teman-temanku. Taraweh adalah saat yang menggembirakan. Kami tidak fokus pada ibadahnya, tapi pada kesenangan bertemu teman-teman pada malam hari. Sesuatu yang tidak mungkin seandainya bukan bulan Ramadhan. Sholatpun belum sepenuhnya kami ikuti. Kadang ikut, kadang duduk-duduk saja sambil berbisik-bisik dengan teman-teman. Hadeuuuhhh... bandel ya...!! Ditegur ibu-ibu yang merasa terganggu sih sering. Tapi yaahhh... begitulah anak-anak... Diam sebentar, kemudian mulai lagi... Kalau ingat itu rasanya Istighfar tak habis aku ucapkan.

Pernah suatu ketika, aku kehilangan sandal yang aku pakai ke mesjid. Padahal sudah aku simpan di bawah pohon Bunga Sepatu. Teman-teman begitu kompak mencari sekeliling mesjid. Tapi tidak ketemu, aku pun berlari pulang tanpa alas kaki. Untung rumah hanya di seberang jalan. Rupanya teman-teman yang masih penasaran. Besoknya waktu tarawih, kami gerilya mencari sandal yang berserakan di depan mesjid. Berharap kalau-kalau sandalku ada diantaranya. Dan ternyata memang ada. Sebab sandalku itu ada tanda initial namaku "N". Jadi mudah dikenali. Langsung saja aku mengambilnya. Dan menyimpannya. Puas rasanya membayangkan orang yang mengambil sandalku kemaren gantian pulang tanpa alas kaki. Hihihihi....

Sampailah pada malam takbiran yang sampai saat ini tidak bisa aku lupakan. Sensasi masa kanak-kanak memang membawa kenangan tersendiri. Waktu itu, ibuku menyiapkan lilin kecil banyaaaak sekali. Aku dan saudara-saudaraku awalnya bingung, mau untuk apa lilin sebanyak itu. Ternyata, setelah berbuka dan sholat Maghrib, ibu mengajak kami ke halaman rumah. Menggelar tikar lebar, meyiapkan makan malam di atas tikar. Pantas saja tadi ibu melarang kami makan waktu berbuka, cuma membatalkan dan makan kolak saja. Lalu ibu mengajari kami, untuk apa lilin itu. Dipasang rapi pada pagar besi rumah kami. Sepanjang pagar rumah. Karena halaman rumah cukup besar, maka pagar rumah juga panjang.begitu antusias mengerjakan . Tangan kecilku masih kesulitan melakukannya, karena bentuk pagar yang berlika liku. Tapi sama seperti saudara-saudaraku, aku semangat sekali mengerjakan apa yang dicontohkan ibu.

Setelah sepanjang pagar tertancap lilin... barulah ibu menyalakannya. Lalu kamipun berebutan ikut menyalakan lilin-lilin itu. Dan Subhanallah... mataku berbinar menatap indahnya deretan lilin yang menyala sepanjang pagar. Bagiku saat itu... itu adalah pemandangan yang menakjubkan. Lalu kami makan malam dibawah langit cerah, beralaskan tikar, bercahayakan puluhan lilin yang menyala terang sepanjang pagar, sementara gema takbir berkumandang di mesjid seberang. Allahu Akbar... Allahu Akbar.... Walilailham...

Itu adalah malam takbiran yang paling mengesankan sepanjang hidupku. Suasana malam itu masih sering membuatku merasa terharu. Hadiah ibu untuk kami anak-anaknya atas puasa Ramadhan yang kami jalani, melebihi apapun. Dan kenangan itu selalu membawa ingatanku pada almarhumah ibu, yang selalu punya kejutan-kejutan untuk kami anak-anaknya. Kejutan yang sering tidak kami duga, tidak kami sadari kapan ibu menyiapkannya. Tahu-tahu kami bersorak bahagia atas surprisenya. Ah.. ibu... kau selalu tahu bagaimana membuat kami senang.

Sesudah sholat Ied, seperti biasa ada acara sungkeman keluarga. Dimulai dari sungkem ibu kepada bapak. Selalu saja ibu menangis kalau sungkeman. Membuat kami, anak-anaknya ikut menangis tanpa tahu alasannya. Terbawa suasana saja. Lalu berurutan kakakku, aku dan adik-adik sungkem kepada bapak dan ibu. Setelah sungkeman tentu saja selanjutnya adalah menyerbu menu lebaran yang sudah dihidangkan diatas meja makan. Menu lazim lebaran. Ketupat, opor ayam, sayur krecek, sambal goreng hati. 

Buat kami anak-anak, acara setelah makanlah yang lebih seru. Bapak dan ibu mengumpulkan kami, mengevaluasi puasa Ramadhan kami. Batal berapa, apa alasannya, dan bagaimana target tahun depan. Dan hadiahpun kami terima sesuai jumlah hari puasa kami. Kelas 3 SD aku baru bisa puasa penuh satu bulan. Dan hadiahnya tentu saja lumayan. Satu lagi keriangan kanak-kanak yang tidak terlupakan. Dan Idul Fitri bagi kanak-kanakku dulu adalah kegembiraan. 


Tulisan ini disertakan pada Kontes Kenangan Bersama Sumiyati-Raditcelluler.





29 komentar:

  1. kenangan masa idul fitri emang begitu meresep dihate yah mba :D , mau ikutan jga ah

    BalasHapus
  2. Keren, Mak... Ada evaluasi dari ortu. Seingat saya, dulu ortu saya gak pernah gitu :)
    Gudlak ngontesnya ya, Mbak :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. ‎​الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ...
      Inisiatif sering datang dr ibu. Tapi bapak oke juga kok...

      Hapus
  3. hehe, kasihan juga ya jd ada orng ntar yg gak pake alas kaki
    bisa jadi itu orang tua yg dah pikun lho :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yaaahh... Gimana doong... Waktu itu yg kepikiran kan cuma ngambil sendal saya lagi...
      Semoga tdk begitu aahh...

      Hapus
  4. Kenangan yang tidak dapat terlupakan, sandal jepit hilang :), makan bersama dikelilingi oleh lilin itu yg paling berkesan, terima kasih mbak Niken telah tercatat sebagai peserta kontes kenangan :)

    BalasHapus
  5. Kenangan itu selalu ada di hati mb ya :) sukses buat postingannya ya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mbak Nurul. Masih banyak kenangan mengharukan dengan almarhumah ibu...
      Makasih ya...

      Hapus
  6. sosok ibu memang sosok mulia yang selalu punya kejutan membahagiakan buat seluruh buah hatinya :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betullll... Begitulah kesan terhadap almarhumah ibu.
      Semoga bisa mengambil kebaikan dari beliau.

      Hapus
  7. TOS mba, saya juga kelas 3 SD baru bisa puasa penuh. Dan itupun dengan sering-sering cuci muka karena gak betah puananaseee...heheheh

    #sukses GAnya ya Mbak

    BalasHapus
    Balasan
    1. TOS mbak Rie... hehehe...
      Samalah mbak... mandi aja 3 kali sehari... wkwkwk... curang....

      Makasih ya mbak Rie...

      Hapus
  8. ngikik bagian yang nyolong sendal hehehe... doi nyeker dong :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lhaa dia yang mulai duluan pan... saya kan cuma mengambil kembali milik saya... qiqiiqqi...

      Hapus
  9. Mbak Niken, kenangan makan malam di luar dengan lilin2 itu, oh indah nian.Membayangkan saja aku ikut bergembira. Ibunya luar biasa ya Mbak..:)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sampai sekarang masih suka terbayang kenangan itu. Almarhumah ibu mmg tau bgmn menenangkan anaknya..
      Trimakasih ya...

      Hapus
  10. Wah sangat inspiratif tulisan seonya mbak, thanks ya

    BalasHapus
  11. wah selalu menjadi ruang belajar yg baik melalui kisah2 yang disajikan... semoga Sukses

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin..
      Terima kasih ya mas Insan...
      Semoga bisa menjadi ruang belajar selalu.

      Hapus
  12. biarpun udah jaman listrik tetep deh lebih menyenangkan klo liat lilin banyak dinyalakan waktu malam, auranya menyenangkan

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul mas... cahaya lilin apalagi seperti malam itu... membuat mata Niken kecil berbinar2... jiaaahh...

      Hapus
  13. tadi jalan2 dari rumahnya Bunda Sumiati, eh, disana ternyata ada Plang, berti=uliskan nama Bunda.. ya idah saya hampiri dan saya sampai kesini....

    Saya bisa bayangin rasanya lihat lilin yg banyak dimalam hari Bun, soalnya Setiap malam takbiran, di desa sebelah, nancapin obor di lapangan, selapangan penuh. rapi lagi, keliatannya baguuuus banget.....

    Semoga bundanya Bunda Niken di beri tempat yang istimewa di SisiNya....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin... trimakasih mendoakan ibunya bunda...

      Obor cahayanya lebih terang ya.. kalau selapangan pasti jadi benderang.... panas ga tuh...? :)

      Hapus
  14. sama-sama Bun...

    jadi Indah banget Bun, seperti kita lihst barisan rapi ketika upacara, bedanya ini barisan cahaya.
    yang lihat cuma dari sisi lapangan Bun, orang yang lewat dijalan itu pasti tertari untuk berhenti menikmati lapangan itu, karena lapangannyan disamping jalan raya.

    BalasHapus